Menuntut Kesetaraan Atas Hak Imunitas
PARLEMENTARIA DPRD KALTIM – Wakil rakyat merupakan jabatan politis yang karena pelaksanaan tugas dan wewenangnya, yang bersangkutan rentan dikriminalisasi. Namun, dengan regulasi yang berlaku saat ini, anggota legislatif di tingkat pusat ternyata punya hak imunitas berbeda, meski tugas wewenangnya relatif sama.
Ketua Badan Kehormatan DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Sutomo Jabir berharap adanya kesamaan antara hak imunitas yang dimiliki anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten dan kota, dengan hak imunitas yang dimiliki anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Hal tersebut disampaikan Sutomo Jabir usai mengikuti Seminar Nasional garapan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI bertajuk “Imunitas Wakil Rakyat Dalam Perspektif Penegakkan Hukum Dan Etika Kelembagaan DPRD” di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (03/10/2022). Seminar nasional itu diikuti BK DPRD Provinsi di Indonesia.
“DPRD ini selain hak pada saat melakukan tugas kedewanan, kan jabatan politis. Artinya bisa saja pihak-pihak lain, lawan-lawan politik misalnya atau pihak yang tidak senang bisa ‘menggoreng’. Selain sanksi psikologis, ketika terkait dengan persoalan hukum, juga ada sanksi sosial karena dipilih masyarakat. Konstituen kita bisa bisa hilang kalau sudah ada isu,” kata politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa ini.
Menjadi wakil rakyat, persoalan lama pun dapat mencuat kembali jika ada lawan politik yang berupaya mengkriminalisasi. Selain itu, wakil rakyat juga sering diadukan oleh pihak tertentu karena dituduh melakukan pelanggaran. Sebagai Ketua BK DPRD Kaltim, ia mengalami hal tersebut, acap kali menerima laporan dari masyarakat.
“Kita terkadang menerima pengaduan baik dari masyarakat maupun dari perorangan mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPRD. Seperti dalam diskusi hari ini, banyak membahas mengenai hak imunitas DPRD, tetapi ada kelemahan perlakuan hak imunitas antara DPRD daerah dengan DPR RI,” ungkap wakil rakyat yang juga menjabat sebagai sekretaris fraksi dan anggota Badan Musyawarah ini.
Dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) serta dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, lanjut politisi kelahiran Samarinda, 22 Agustus 1981 ini, tidak diatur mekanisme atau tata cara untuk pemanggilan anggota DPRD oleh aparat penegak hukum.
“Dalam undang undang tidak diatur tentang tata cara pemanggilan anggota DPRD, sehingga dalam pemanggilannya disamakan dengan halnya masyarakat biasa,” ungkap anggota legislatif dari daerah pemilihan Kota Bontang, Kabupaten Kutai Timur dan Berau ini.
Setelah menjadi anggota DPR ketika berbenturan kepentingan, diungkit-ungkit dan dilaporkan dari orang yang tidak senang atau lawan politik atau menggantikan posisinya. “Harapannya, supaya hak imunitas di DPRD kabupaten, DPRD provinsi, itu sama dan setara dengan hak imunitas di DPR RI,” tandas anggota dewan yang juga memegang posisi sebagai anggota Komisi III yang membidangi masalah pembangunan.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan saat ini, pemeriksaan perkara pidana oleh aparat penegak hukum untuk anggota DPR RI memang harus seizin presiden, namun tetap berdasarkan pertimbangan MKD. Sedangkan untuk anggota DPRD provinsi, harus seizin Menteri Dalam Negeri, untuk tingkat kabupaten kota harus seizin gubernur. Namun, izin menteri dan gubernur tersebut diberikan tanpa harus adanya pertimbangan dari BK di masing-masing lembaga legislatif tersebut. []
Penulis: Fajar Hidayat
Editor: Hadi Purnomo