BUMDes Kaltara Tidak Ikuti Aturan, Modal Yang Dikeluarkan Tidak Sesuai Pendapatan
TANJUNG SELOR – Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) dari Kementrian desa (Kemendes) Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) di Kabupaten (kab.) Bulungan Anhar menilai, keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di desa-desa di Kalimantan Utara (Kaltara) belum optimal. Bahkan sebagian besarnya tidak aktif.
Menurutnya, karena pemerintah desa (pemdes) di Kaltara banyak yang belum memahami kriteria untuk pengurus BUMDes. Dirinya menyayangkan, modal dari Pemdes yang seharusnya untuk menjalankan BUMDes agar bisa memperoleh pendapatan desa, pada kenyataannya tidak jalan.
Menurutnya penempatan pengurus BUMDes yang salah, menyebabkan badan usaha yang harus bekerja mencari sumber pendapatan itu, menjadi stagnan bahkan berhenti operasi. “Banyak BUMDes yang berhenti beroperasi, karena ketika pendapatan belum ada, pengelolanya ini ambil insentif terus, honor terus. Sehingga modalnya habis untuk bayar honor. Padahal kalau ikut aturan, maksimal modal untuk operasional dan honor itu dibatasi,” kata Anhar (09/01/2024).
Dia menjelaskan, banyak pihak di desa yang berlomba-lomba menjadi pengurus, hanya karena berharap insentif. Padahal seharusnya pengurus ini selain memiliki kompetensi bisnis yang mumpuni, juga perlu memiliki pekerjaan tetap, sehingga tidak mengandalkan pendapatan utama dari BUMDes
Anhar menerangkan, Pemdes dan pengurus BUMDes harus bisa melihat peluang ekonomi yang bisa dijalankan di lingkungan masyarakatnya. Atau melihat peluang ekonomi yang bisa diberdayakan dari potensi desanya. “Ini sangat penting agar BUMDes bisa terus berjalan dan menyumbang Pendapatan Asli Desa (PADes). Yang ada selama ini, modal habis untuk bayar honor pengurus. Sementara usaha tidak ada yang jalan,” ujarnya.
Pemdes diingatkan untuk selektif dalam memilih komposisi kepengurusan BUMDes. Terlebih ketika kepengurusan sebelumnya vakum atau tidak membuahkan hasil. “Dalam proses seleksi, harus benar-benar ada kriteria yang harus dipenuhi. Kemudian juga ditekankan dari awal jika honor atau insentif yang akan diterima pengelola ini berasal dari pendapatan BUMDes, bukan dominan dari modal yang disertakan pemdes,” imbuhnya.
Terpisah, Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Provinsi Kaltara, Midkhol Huda mengakui, jika dari pantauannya mayoritas BUMDes di Kaltara sudah tidak lagi aktif. “Kalau secara global terbentuk memang Insya Allah sudah semua terbentuk di desa-desa. Tapi yang bertahan secara maksimal ya tidak masif, karena sekadar menggugurkan kewajiban saja,” kata Midkhol.
Hal ini secara tersirat dipandang sebagai ironi tersendiri. Mengingat pemdes sudah menggelontorkan anggaran sebagai modal awal. Sementara usahanya tidak jalan. “Padahal seharusnya BUMDes itu mesin pencari uang desa, dana sudah disiapkan, lembaga sudah diadvokasi, tinggal SDM masing-masing desa saja. Memang pendampingan dari pendamping desa harus optimal,” kata yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Desa di salah satu desa di Tanjung Palas Utara itu.
Redaksi 02