Dialog PM Irak dan Biden: Tanggapan AS terhadap Eskalasi Konflik di Timur Tengah

WASHINGTON DC – Perdana Menteri Irak Mohammed Shia’ Al Sudani bertemu dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Washington DC pada Senin (15/04/2024). Pertemuan itu terjadi usai serangan Iran ke Israel pada Sabtu (13/04/2024) yang melibatkan proksi-proksinya di Timur Tengah, termasuk di Irak.

Dilansir dari Media, Al Sudani dan Biden disebut bicara mengenai komitmen terhadap keamanan dan gencatan senjata di Jalur Gaza Palestina guna memulangkan tawanan Israel yang masih berada di daerah kantong tersebut. Keduanya juga membahas situasi di Timur Tengah usai Iran menyerang Israel.

“Iran meluncurkan serangan udara yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel, dan kami meluncurkan upaya militer yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mempertahankannya. Bersama dengan mitra kami, kami menahan serangan itu,” kata Biden saat bertemu dengan Al Sudani. Menurut AFP, Biden juga mengatakan dirinya ingin mencegah perang yang lebih luas di Timur Tengah seiring dengan panasnya kawasan tersebut saat ini.

“Amerika Serikat berkomitmen untuk menjaga keamanan Israel. Kami berkomitmen untuk mengupayakan gencatan senjata yang akan membawa pulang para sandera dan mencegah konflik menyebar melampaui apa yang sudah terjadi,” ucap Biden. Lebih lanjut, Biden juga menegaskan kembali komitmennya untuk melindungi AS dan mitra-mitra Washington di Timur Tengah, termasuk Irak.

Pertemuan Biden dan Al Sudani berlangsung usai Iran menyerang Israel dari berbagai perbatasan negara proksinya pada Sabtu lalu. Serangan ini melibatkan lebih dari 300 proyektil yang nyaris seluruhnya berhasil dicegat Israel dengan bantuan AS, Inggris, Prancis, hingga Yordania Al Sudani sebetulnya sudah tiba di Washington pada Sabtu, bersamaan dengan serangan Iran tersebut.

Delegasi-delegasi Irak dan AS mulanya direncanakan berbincang mengenai hubungan kedua negara melalui Perjanjian Kerangka Kerja Strategis yang telah ditandatangani kedua negara. Irak dan AS juga rencananya membicarakan situasi regional, investasi, sektor swasta, industri, pertanian, budaya, pendidikan, iklim dan lingkungan, demikian menurut juru bicara pemerintah Irak assem Al-Awadi kepada Media.

Saat serangan pecah, Al Sudani pun mau tak mau ikut membahas perkembangan situasi saat ini dengan Biden karena melibatkan negaranya. Sebab, Pasukan Mobilisasi Populer (PMF), yang secara resmi merupakan bagian dari pasukan keamanan Irak, ikut melancarkan serangan terhadap Negeri Zionis bersama dengan Iran.

“Iran, dan proksinya yang beroperasi di Yaman, Suriah, dan Irak, melancarkan serangan udara yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap fasilitas militer di Israel. Saya mengutuk serangan ini sekuat-kuatnya,” ucap Biden.

PMF dibentuk pada Juni 2014 menyusul fatwa Ayatollah Ali Al Sistani yang mendesak tindakan tegas terhadap Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). PMF secara resmi bergabung ke dalam angkatan bersenjata Irak pada 2016.

Kendati begitu, beberapa faksi PMF menyatakan dukungan terhadap Iran. Situasi ini mencerminkan kompleksitas yang sedang berlangsung dalam lanskap keamanan Irak. []

Redaksi08

WELLINGTON — Kasus medis tak biasa terjadi di Selandia Baru setelah seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun menelan hingga 100 magnet kecil berkekuatan tinggi yang dibelinya melalui platform belanja daring Temu. Aksi berbahaya tersebut berujung pada operasi besar setelah magnet-magnet itu menyebabkan kerusakan serius pada organ dalam tubuhnya. Remaja itu semula dibawa ke Rumah Sakit Tauranga, Pulau Utara, karena mengalami nyeri perut selama empat hari. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, dokter menemukan adanya kumpulan magnet di dalam usus. “Dia mengungkapkan telah menelan sekitar 80–100 magnet berkekuatan tinggi (neodymium) berukuran 5×2 milimeter sekitar satu minggu sebelumnya,” tulis laporan di New Zealand Medical Journal, Jumat (24/10/2025). Magnet neodymium tersebut sejatinya sudah dilarang beredar di Selandia Baru sejak 2013 karena risiko keselamatan yang tinggi, terutama bagi anak-anak. Namun, laporan mengungkapkan bahwa remaja ini masih bisa membelinya secara daring melalui Temu, salah satu platform e-commerce asal Tiongkok yang tengah populer secara global. Hasil sinar-X memperlihatkan magnet-magnet itu menggumpal membentuk empat garis lurus di dalam perut sang remaja. “Ini tampaknya berada di bagian usus yang terpisah namun saling menempel akibat gaya magnet,” ujar pihak medis. Kondisi itu menyebabkan nekrosis, atau kematian jaringan, di empat area usus halus dan sekum, bagian dari usus besar. Tim dokter bedah kemudian melakukan operasi pengangkatan jaringan mati sekaligus mengeluarkan seluruh magnet dari tubuh pasien. Setelah menjalani perawatan intensif selama delapan hari, remaja tersebut akhirnya diperbolehkan pulang. Dalam laporan medisnya, dokter Binura Lekamalage, Lucinda Duncan-Were, dan Nicola Davis menulis bahwa kasus ini menjadi pengingat bahaya besar yang bisa timbul dari akses bebas anak-anak terhadap produk berisiko di pasar online. “Kasus ini tidak hanya menyoroti bahaya konsumsi magnet, tetapi juga bahaya pasar daring bagi populasi anak-anak kita,” tulis mereka. Selain itu, para ahli juga memperingatkan kemungkinan komplikasi jangka panjang akibat insiden ini, termasuk sumbatan usus, hernia perut, serta nyeri kronis yang dapat muncul di kemudian hari. Menanggapi laporan tersebut, pihak Temu menyampaikan penyesalan dan berjanji akan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. “Kami telah meluncurkan tinjauan internal dan menghubungi penulis artikel New Zealand Medical Journal untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,” ujar juru bicara Temu dalam pernyataan resminya. Namun, Temu menyebut belum dapat memastikan apakah magnet yang digunakan anak tersebut benar-benar dibeli melalui platform mereka. “Meskipun demikian, tim kami sedang meninjau daftar produk yang relevan untuk memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan keselamatan setempat,” tambahnya. Temu, yang merupakan raksasa e-commerce asal Tiongkok, beberapa kali dikritik di pasar internasional, termasuk di Uni Eropa, karena dinilai belum cukup tegas dalam menyaring produk berbahaya atau ilegal yang beredar di platformnya. Kasus ini menegaskan pentingnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas belanja dan penggunaan internet oleh anak-anak, sekaligus menjadi peringatan bahwa satu klik di dunia digital bisa berujung pada konsekuensi serius di dunia nyata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Lainnya

WELLINGTON — Kasus medis tak biasa terjadi di Selandia Baru setelah seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun menelan hingga 100 magnet kecil berkekuatan tinggi yang dibelinya melalui platform belanja daring Temu. Aksi berbahaya tersebut berujung pada operasi besar setelah magnet-magnet itu menyebabkan kerusakan serius pada organ dalam tubuhnya. Remaja itu semula dibawa ke Rumah Sakit Tauranga, Pulau Utara, karena mengalami nyeri perut selama empat hari. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, dokter menemukan adanya kumpulan magnet di dalam usus. “Dia mengungkapkan telah menelan sekitar 80–100 magnet berkekuatan tinggi (neodymium) berukuran 5×2 milimeter sekitar satu minggu sebelumnya,” tulis laporan di New Zealand Medical Journal, Jumat (24/10/2025). Magnet neodymium tersebut sejatinya sudah dilarang beredar di Selandia Baru sejak 2013 karena risiko keselamatan yang tinggi, terutama bagi anak-anak. Namun, laporan mengungkapkan bahwa remaja ini masih bisa membelinya secara daring melalui Temu, salah satu platform e-commerce asal Tiongkok yang tengah populer secara global. Hasil sinar-X memperlihatkan magnet-magnet itu menggumpal membentuk empat garis lurus di dalam perut sang remaja. “Ini tampaknya berada di bagian usus yang terpisah namun saling menempel akibat gaya magnet,” ujar pihak medis. Kondisi itu menyebabkan nekrosis, atau kematian jaringan, di empat area usus halus dan sekum, bagian dari usus besar. Tim dokter bedah kemudian melakukan operasi pengangkatan jaringan mati sekaligus mengeluarkan seluruh magnet dari tubuh pasien. Setelah menjalani perawatan intensif selama delapan hari, remaja tersebut akhirnya diperbolehkan pulang. Dalam laporan medisnya, dokter Binura Lekamalage, Lucinda Duncan-Were, dan Nicola Davis menulis bahwa kasus ini menjadi pengingat bahaya besar yang bisa timbul dari akses bebas anak-anak terhadap produk berisiko di pasar online. “Kasus ini tidak hanya menyoroti bahaya konsumsi magnet, tetapi juga bahaya pasar daring bagi populasi anak-anak kita,” tulis mereka. Selain itu, para ahli juga memperingatkan kemungkinan komplikasi jangka panjang akibat insiden ini, termasuk sumbatan usus, hernia perut, serta nyeri kronis yang dapat muncul di kemudian hari. Menanggapi laporan tersebut, pihak Temu menyampaikan penyesalan dan berjanji akan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. “Kami telah meluncurkan tinjauan internal dan menghubungi penulis artikel New Zealand Medical Journal untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,” ujar juru bicara Temu dalam pernyataan resminya. Namun, Temu menyebut belum dapat memastikan apakah magnet yang digunakan anak tersebut benar-benar dibeli melalui platform mereka. “Meskipun demikian, tim kami sedang meninjau daftar produk yang relevan untuk memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan keselamatan setempat,” tambahnya. Temu, yang merupakan raksasa e-commerce asal Tiongkok, beberapa kali dikritik di pasar internasional, termasuk di Uni Eropa, karena dinilai belum cukup tegas dalam menyaring produk berbahaya atau ilegal yang beredar di platformnya. Kasus ini menegaskan pentingnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas belanja dan penggunaan internet oleh anak-anak, sekaligus menjadi peringatan bahwa satu klik di dunia digital bisa berujung pada konsekuensi serius di dunia nyata.