Bisnis Batu Bara Masih Lesu, Revenue Berau Coal Turun
BALIKPAPAN – Menurunnya permintaan batu bara dari Tiongkok beberapa waktu belakangan cukup berdampak terhadap kondisi sektor pertambangan di Kalimantan Timur (Kaltim).
PT Berau Coal, salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar di Kaltim yang berada di Kabupaten Berau, mengaku bahwa dalam kurun tiga tahun terakhir harga batu bara tak kunjung menunjukkan momentum kenaikannya.
“Harga batu bara dalam tiga tahun terakhir memang masih berada pada titik terendah,” ujar Public Relation Superintendent PT Berau Coal Arif Hadianto kepada wartawan, di sela-sela acara buka puasa bersama kalangan jurnalis di Balikpapan, Kamis (24/7).
Penurunan harga serta permintaan batu bara tersebut, lanjut Arif juga turut berimbas terhadap revenue perusahaan mengingat Tiongkok merupakan pasar utama batu bara dari Berau Coal.
Arif menambahkan, saat ini kisaran harga batu bara berada pada level USD 65-70 per ton, sementara tahun lalu USD 70-80 per ton. “Tahun ini sepertinya masih akan berada di titik terendah (harga bara, Red),” lanjut dia.
Bicara mengenai target produksi, Arif menjelaskan tahun ini target produksi batu bara yang ingin dicapai oleh Berau Coal adalah 23,2 juta metric ton (MT), angka tersebut lebih tinggi dari target tahun 2013 silam yakni 22 juta metric ton dari tiga tambang yakni Binungan, Lati, dan Sambarata.
Turunnya revenue perusahaan lanjut Arif, disikapi perusahaan dengan melakukan langkah efisiensi, khususnya dari sisi konsumsi bahan bakar, mengingat bahan bakar berkontribusi 20 persen terhadap biaya operasional Berau Coal. “Kita gunakan biodiesel, bahkan saat ini tengah dilakukan uji coba untuk menggunakan bahan bakar gas,” terang Arif.
Namun demikian, konversi solar ke bahan bakar gas bukan merupakan hal yang mudah sehingga sampai saat ini baru masuk dalam tahap uji coba. “Kita perlu converter kit, sarana untuk pengisian gas jadi memang banyak yang mesti dipersiapkan,” ujarnya.
Selain mengekspor ke Tiongkok, Berau Coal juga melakukan ekspor ke beberapa Negara seperti India dan Taiwan.
“Paling besar memang Tiongkok, sementara untuk kebutuhan domestik kita pasok 20 persen dari keseluruhan produksi,” tutup dia.
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang mencapai 7,5 persen pada triwulan II lalu ditanggapi dingin pelaku bisnis batu bara di Kaltim. Kondisi tersebut dinilai tak banyak berpengaruh terhadap harga jual komoditas mereka di sana.
Harga batu bara termal di Tiongkok jatuh ke titik terendah sejak tujuh tahun lalu. Harga batu bara dengan nilai energi 5.500 kilokalori (kkal) per kilogram, di Pelabuhan Qinhuangdao turun menjadi 500 yuan atau setara USD 80,60 per metrik ton. Itu disebabkan stok di kawasan tersebut yang menumpuk dari 233 ribu ton pada pekan lalu menjadi 7,34 juta ton.
Dikatakan Ketua Asosiasi Perusahaan Batu Bara Samarinda (APBS) Eko Prayitno, Tiongkok memang masih menjadi sasaran ekspor utama para pengusaha di Kaltim, termasuk Samarinda. Namun, dia memperkirakan, angka pertumbuhan ekonomi tak akan banyak memengaruhi pergerakan harga komoditas itu di Negeri Tirai Bambu.
“Fluktuasi harga hanya terjadi pada batu bara berkalori rendah, (5.000 kkal/kg ke bawah). Untuk yang berkalori tinggi, biasanya tak banyak berubah,” ucapnya.
Situasi ini, kata Eko, membuat banyak penambang yang mulai memikirkan pasar alternatif selain Tiongkok. “Masih ada India atau Jepang,” sambung dia
Sebagai informasi, secara nasional, untuk kandungan 6.332 kkal/kg, Juli ini harga batu bara acuan (HBA) di Indonesia kembali turun menjadi USD 72,45 ton dari harga rata-rata tahun ini yang tercatat USD 78,54 per ton. HBA tersebut merupakan yang terendah sejak empat tahun terakhir. Harga terendah, sebelumnya terjadi pada November 2009 yang masih USD 68,99 per ton.
“Kami berharap segera membaik. Karena tak dapat dimungkiri, sektor ini masih menjadi motor utama perekonomian di Kaltim, termasuk Samarinda,” jelas Eko. [] KP