Faisal Ingatkan Prabowo Perhatikan Dampaknya jika Ajukan Rasio Utang 50%
JAKARTA – Sejumlah ekonom mewanti-wanti rencana presiden terpilih Prabowo Subianto menambah rasio utang Indonesia menjadi 50% dari Produk Domestik Bruto. Ekonom berpandangan rencana itu akan menimbulkan sederet risiko terhadap perekonomian Indonesia. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) M. Faisal mengungkit peningkatan jumlah utang semasa pandemi Covid-19. Dia mengatakan kebijakan pelonggaran defisit pada masa itu yang berjalan selama 3 tahun saja sudah membuat utang Indonesia membludak.
“Hanya 3 tahun, itu pun kita harus membayar konsekuensinya, yaitu tahun depan utang jatuh tempo kita melompat hingga RP 800 triliun,” kata Faisal dikutip CNBC Jumat, (12/7/2024).
Faisal mengatakan membludaknya bunga utang tersebut tentu menimbulkan berbagai risiko fiskal dan risiko ekonomi. Fiskal, kata dia, menjadi tidak sehat karena anggaran terlalu banyak untuk membayar utang, sementara proyek-proyek strategis lainnya tak bisa dibiayai.
“Rencana kebijakan ini harus dilihat dampaknya sampai jauh,” ujarnya.
Sebelumnya, rencana Prabowo mengerek rasio utang mencapai 50% dari Produk Domestik Bruto diungkap oleh Hashim Djojohadikusumo. Hashim adalah adik Prabowo yang juga penasihat paling dekat presiden terpilih itu.
Hashim mengatakan peningkatan rasio utang itu akan digunakan untuk membiayai berbagai program belanja, termasuk makan bergizi gratis. Dia bilang peningkatan utang ini tentu harus dibarengi dengan peningkatan di sisi penerimaan. Sementara itu, Ketua Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan hal berbeda. Dia memastikan komitmen pemerintahan presiden terpilih terhadap batasan defisit APBN 2025 sebesar 3% dari PDB.
“Pemerintah tetap teguh pada komitmennya terhadap pengelolaan fiskal yang berkelanjutan dan hati-hati,” kata Dasco.
Faisal mengatakan wacana pemerintahan baru menaikkan defisit fiskal tentu akan mempengaruhi persepsi investor. Dia khawatir pengelolaan utang yang tidak hati-hati hanya akan membuat para investor kabur.
“Ini dampak yang sudah kita rasakan, akhirnya nilai tukar rupiah terdepresiasi lebih dalam dibandingkan negara Asean lainnya,” kata dia.
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan kondisi rasio utang yang saat ini berada pada level 36,6% dari PDB saja sudah menyulitkan. Dia tak bisa membayangkan keadaan sulit yang akan dihadapi apabila rasio utang digenjot hingga 50%.
“Tanpa diimbangi kenaikan penerimaan negara, saya pikir rasio utang terhadap PDB semakin sulit,” katanya.
Dia juga mengatakan apabila rasio utang terus naik, maka belanja modal pemerintah akan semakin menyempit. Walhasil, kata dia, anggaran negara akan lebih banyak habis untuk membayar bunga utang ketimbang belanja produktif lainnya.
“Belanja pemerintah untuk pembangunan lebih kecil daripada belanja rutin,” katanya.
Ekonom senior Faisal Basri mengungkapkan dampak terburuk dari pengelolaan utang yang tidak hati-hati. Dia mengatakan ketika utang sudah membludak, bisa jadi pemerintah akan membayar utang dengan menambah utang.
Ketika itu terjadi, kata dia, Indonesia akan kehilangan kepercayaan dari para investor yang menyebabkan surat utang Indonesia tidak laku. Menurut dia, kondisi tersebut merupakan pemicu krisis seperti di Srilanka.
“Awal dari krisis itu ya dari fiskal, seperti yang terjadi di Srilankan,” ujarnya. []
Nur Quratul Nabila A