Menghitung Kekuatan Rita Widyasari

Oleh Max Donald Tindage
Oleh Max Donald Tindage

PADA 27 Februari 1997 untuk pertama kali saya menjejakkan kaki di Kota Tenggarong, sebuah kota di lembah Sungai Mahakam, pusat kekuasaan sebuah negeri yang kaya dengan misteri sejarah dan budaya, dan hingga kini belum juga tuntas pembuktian sejarahnya. Tetapi satu hal yang pasti terlihat bahwa negeri ini sedang menggeliat memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya dengan menuntut hak sebagai daerah penghasil yang memberikan kontribusi besar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena keberadaan sumber sumber minyak dan gas bumi (migas) di berbagai tempat bagian dari Kabupaten Kutai saat itu.

Dan di tengah dengungan bising suara-suara lantang oleh keinginan mencapai kesejahtaraan rakyat itulah, terbisik lembut sebuah nama ‘Pak Kaning’—sapaan akrab Syaukani HR, Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara saat itu, yang selalu dicetuskan oleh hampir setiap orang yang saya temui di Kota Tenggarong—dan menumbuhkan rasa penasaran tentang keberadaan nama tersebut.

Tak berselang lama kemudian akhirnya rasa penasaran itu terpuaskan tatkala untuk pertama kalinya bersamaan dengan kampanye Partai Golkar yang dilaksanakan di Kota Tenggarong dan persis bertempat di depan tempat kerja saya, di sebuah panggung pada halaman Pasar Tangga Arung, saya berkesempatan melihat langsung raut wajah tokoh terpandang yang sering dipanggil ‘Pak Kaning’, di tengah penyampaian joke segar oleh Madihin, ayah beranak yang dikenal dengan sebutan John Tralala.

Menyaksikan antusiasme masyarakat saat itu, maka sebagai org baru, saya prediksi bahwa Partai Golkar pastilah berjaya di negeri ini, walaupun tidak ditopang oleh kekuatan Orde Baru. Prediksi ini kemudian menjadi kenyataan pasca lengsernya kekuasaan orde baru oleh gerakan reformasi, kemudian pada Mei Tahun 1999 terbitlah Undang-Undang (UU) Nomor 22 tentang Otonomi Dearah dan UU Nomor 25 tentang Perimbangan Keungan Pusat dan Daerah. Berdasar tonggak sejarah itulah maka pembuktian prediksi saya menjadi kenyataan.

Bermula dari pemilihan bupati oleh DPRD pada tahun 1999 yang dimenangkan oleh ‘Pak Kaning’ , walaupun kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mendominasi kursi parlemen saat itu, sampai pada kontestasi melalui pilihan langsung masyarakat, dimana Kutai Kartanegara menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang melaksanakan pilkada langsung. Pada 1 Juni 2005 lahirlah bupati pertama di Indonesia yang dipilih oleh rakyat secara langsung, yaitu ‘ Pak Kaning’.

Dengan segudang prestasi yang dilakukan saat sebelumnya, antara lain dengan memekarkan Kabupaten Kutai Timur, Kutai Barat dan Kota Bontang, telah memberikan kesan bahwa sosok ‘ Pak Kaning’ adalah seorang pemimpin yang mencintai otonomi daerah dengan tidak mempertahankan sentralisasi kekuasaan sebagai Bupati Kutai saat itu.

Masa itu merupakan masa bombastis bagi kejayaan Partai Golkar dalam kancah politik lokal Kutai yang beranjak menuju kemajuan dan bertransformasi menjadi Kutai Kartanegara. Suatu masa yang tidak pernah dicapai oleh pemerintah daerah di belahan manapun di Indonesia, yaitu menduduki jabatan eksekutif sebagai bupati dan ditopang oleh kekuatan parlemen sebanyak 22 orang atau 55 persen. Suatu simple majority untuk membangun keseimbangan check and balance yang harmoni dan penuh kepastian akan suksesnya program pembangunan kedepannya.

Namun sayang sekali, masa itu tidak berlangsung lama, akibat dinamika regulasi menuju kondisi ideal otonomi daerah (otda), berbagai uji coba sistem yang ada situasi politik di berbagai daerah menjadi lepas kontrol dan oleh pemerintah pusat situasi ini diyakini sebagai kebablasan otda dan melahirkan ” raja-raja kecil” di berbagai daerah. Oleh karena itu dalam proses pematangan mencari jati diri otda itulah diterbitkan UU No. 32 Tahun 2004 dengan substansi yang agak membatasi ruang gerak Bupati sebagai kepala daerah tingkat II dengan menempatkan posisi gubernur sebagai kepala dearah tingkat I sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, disertai berbagai regulasi yang mengiringinya.

Situasi dan kondisi itu menyebabkan beberapa kepala daerah di indonesia yang terbentuk oleh esensi UU No 22/1999 yang agak ‘bebas ‘ menentukan kebijakan, dianggap ‘membangkang’ ketika tidak sejalan dengan ruh UU No. 32 /2004 dan pada akhirnya sebagian besar harus terseret dalam arus pusaran sejarah, menjadi tumbal bagi proses menuju tatanan ideal sistem otda yang tepat bagi kepentingan dan kedaulatan bangsa ini. Suatu tatanan yang sampai saat ini belum ditemukan kondisi idealnya, sehingga akan terus bergulir seiring dinamika politik bangsa yang tidak pernah membiarkan pendulum demokrasinya bergerak sendiri oleh kedaulatan rakyat, tapi berupaya menggerakkan sesuai kemauan parpol-parpol, entah sampai kapan.

Lantas bagaimana dengan Kutai Kartanegara, pasca kepemimpinan Pak Kaning? Dan bagaimana dengan Partai Golkar yang berjaya di era tersebut?

MASA TANTANGAN

Seakan tak percaya dengan apa yang terjadi kala itu, sebagian masy msh sangat berharap situasi kukar saat itu hanyalah sebuah mimpi dan tidak pernah menjadi kenyataan, sementara itu elit politik lokal khususnya internal partai berlambang beringin ini sebagaimana lazimnya organisasi besar, mulai mengelompok. Dan masing-masing kelompok membentuk faksi internal sehingga terjadilah situasi ‘turbulensi’ dalam pesawat udara yang tadinya terbang dengan aman dan tenang. Friksi antar faksi-faksi yang ada semakin meruncing untuk mempertegas siapa yang layak untuk menjadi pilot pesawat, menakhodai partai besar ini membawa penumpang rakyat Kukar menuju ke arah terwujudnya kesejahteraan yang diidam-idamkan di era kepemimpinan Pak Kaning.

Dan ditengah tengah ‘turbulensi’ itulah muncul kelompok muda untuk mengambil peran sekaligus mengambil tanggung jawab besar menerbangkan pesawat itu untuk sampai pada tujuan. Oleh perjuangan dalam keraguan tapi didasari pada loyalitas terhadap organisasi dan kepada sang guru, maka muncullah seorang ‘Hanoman’ dengan sedikit keberanian dan setitik optimisme oleh dorongan loyalitas, laksana the last heroes in Beringin’s Kukar, tokoh muda ini dengan tertatih-tatih, membangun dan membentuk kelompok muda untuk mengambil tanggung jawab besar ini dengan mengusung ‘srikandi’ Rita Widyasari, putri sang guru sebagai pemimpin untuk menakhodai kapal besar yang sedang mengalami guncangan.

Rita Widyasari saat kampanye.
Rita Widyasari saat kampanye.

Suatu perjudian besar dilakukan dengan menempatkan seorang wanita, Ketua Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Kutai Kartanegara yang saat itu untuk memimpin kapal ekspedisi menuju tujuan akhir kesejahteraan yang diidamkan oleh sang Bapak, Pak Kaning, dalam Program Gerbang Dayaku.

Akan tetapi tak disangka-sangka, bertolak dari keraguan dan kekurangpercayaan diri akan kemampuan yang dimilikinya, tetapi berbekal semangat oleh dorongan pendukung Partai Golkar di level kecamatan dan desa, maka berangkatlah Sang Srikandi sembari menafikan sementara rasa kurang percaya diri dengan menganggap terlalu muda usia dan kurang memahami birokrasi, suatu ‘rasa’ yang lazim bagi seorang anak muda untuk melangkah memasuki dunia baru yang tidak pernah diimpikan.

Bermodalkan 12 kursi (27 % kursi) parlemen atau 66. 915 suara pendukung Partai Golkar pada Pemilihan Legislatif 2009 (25,2 % suara), maka majulah Sang Srikandi yang berpasangan dengan Ghufron Yusuf, seorang loyalis bapaknya, mencalonkan diri pada Pemilihan Kepala Dearah (Pilkada) Kukar Tahun 2010. Sebagai kuda hitam yang diragukan kehadirannya untuk tampil sebagai pemenang dan seakan terpacu oleh tantangan untuk pembuktian diri, srikandi ini merangsek maju bahkan melampaui total suara parpol pendukungnya (100 ribu lebih), hasil. Pemilihan Umum (Pemilu) menunjukkan angka di atas 153 ribu atau 55,4 persen, mementahkan semua asumsi dan mematahkan semua prediksi dan keragu-raguan terhadap pencalonan dirinya. Majulah Sang Srikandi sebagai wanita pertama yang menjadi kepala daerah di Provinsi Kalimantan Timur.

MASA UJIAN DAN PEMBUKTIAN

Sore itu dalam temaram langit merah saga, di tengah raung mesin kapal feri yang menghantar kami menyeberangi Sungai Mahakam menuju Sebulu untuk selanjutnya memacu kendaraan kami menuju Muara Kaman, menuju peradaban yang menghantarkan kerajaan Kutai sebagai tonggak sejarah nusantara mula-mula, dalam semilir sepoi sang bayu, sebuah hembusan yang nikmat merayu membuat mata ini setengah terpejam, sesaat sebelum kapal ini berlabuh di bibir sungai, seorang teman bertanya kepada saya, “Bagaimana dengan Pilkada Kukar 2015? Siapakah yang bisa menjadi calon penantang bagi Rita Widyasari?” Saya berkata, “Saya akan menjawab pertanyaan itu pasca Pileg dan Pemilihan Presiden yang sebentar lagi berlangsung.” Pasca Pilpres, sang teman kembali mendesak saya untuk menjawab pertanyaan yang dipendamnya selama 3 bulan lebih. Sayapun tersenyum sembari menyeruput segelas kopi sambil mengajaknya untuk duduk di teras depan rumah, supaya leluasa ngobrol sambil merokok.

Dilahirkan menjadi pemimpin, itulah gambaran awal saya tentang sosok bupati wanita pertama di Kaltim ini.

Tak seorangpun menyangka, bahkan Rita Widyasari sendiri pun takkan pernah bermimpi akan menjadi penerus tongkat estafet dari bapaknya, apalagi secepat itu pilihan datang menghampiri.

Saya sedikit mengenal sosok bupati wanita ini karena pernah ‘bertarung’ di daerah pemilihan yang sama tatkala kontestasi pileg 2009 dan sama-sama berhasil mendapatkan amanah masyarakat untuk duduk di kursi legislatif. Saya sempat bekerjasama dalam lingkup Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kukar periode 2009-2014 walaupun cuma sesaat, karena wanita tangguh ini setelah dilantik menjadi Ketua DPRD, tidak berselang lama kemudian mengambil cuti untuk mempersiapkan diri menghadapi Pilkada yang memacu adrenalin.

Cerdas, dinamis dan berani, walau sedikit ceplas ceplos alias blak blakan. Tapi dibalik sifat rendah hati yang dimilikinya, tersembunyi ketegasan dan semangat tempur yang luar biasa.

Sebagai seorang pria yang memiliki kodrat lebih kuat dari kaum wanita, seringkali saya berdecak kagum ketika menyaksikan pergerakan dinamisnya saat kampanye di dapil yang sama itu, disiplin waktu yang didukung stamina luar biasa dan semangat yang selalu menggebu menghantarnya menjadi calon legislatif dengan suara pemilih terbanyak di seantero Kukar dan hal itulah yang memuluskan langkahnya menduduki kursi Ketua DPRD. Tanpa ada gejolak di dalam intrnal Partai Golkar yang dipimpinnya.

Takdir untuk dilahirkan sebagai pemimpin, yang tadinya terpendam di balik keberadaan sang ayah sebagai bupati, menerobos keluar seiring beban yang menghimpit ketika mendampingi dan menemani sang ayah menghadapi pusaran arus sejarah, menyatu dengan kecerdasan dan keberanian yang dimiliki. Dan seiring tempaan sang waktu, maka srikandi ini terbentuk menjadi pemimpin, bukan karena terwariskan oleh kebesaran sang bapak, tapi karena layak baginya menjadi pemimpin.

Terobosan dan gebrakan kebijakan dalam Program Gerbang Raja dengan slogan HARUS, hak rakyat untuk sejahtera, patut diacungi jempol kendatipun di sana sini dalam proses pelaksanaan program tersebut masih terkendala oleh budaya kerja yang berbeda antar manajemen birokrasi dengan perusahaan swasta, antar pegawai atau birokrat dengan pegawai swasta.

Kebiasaan memimpin perusahaan swasta kadang masih terbawa ketika memimpin sebagai bupati, terkadang keinginan untuk percepatan pembangunan sesuai program harus terhambat oleh regulasi pengelolaan uang negara yang suka atau tidak suka harus dipatuhi oleh setiap pemimpin di daerah yang merupakan bagian dari satu kedaulatan NKRI.

Akan tetapi, ibarat pepatah tiada gading yang tak retak, sembari berusaha membenahi kondisi Kukar yang wilayahnya sangat luas ini, saya beranggapan bahwa srikandi ini telah menjadi bupati yang sudah berada pada koridor yang tepat dalam kepemimpinannya. Karena itulah menjadi sulit bagi saya menjawab pertanyaan teman saya ini.

Pemilu 2009, Partai Golkar Kukar memperoleh dukungan suara hanya 66. 915 dari masyarakat, ditambah suara partai politik pendukung baru mencapai 100 ribu dukungan suara. Suatu angka yang belum memastikan kemenangan yang ditargetkan, akan tetapi lewat strategi dan kerja kerasnya, pasangan nomor 6 ini berhasil mendapat dukungan 153 ribu suara atau 55,4 persen, suatu dukungan yang sangat signifikan dalam kontestasi yang diikuti oleh 6 pasangan calon itu.

Kalau pada pilkada di masa turbulensi ini berhasil meraup suara yang signifikan atau sekitar 230 persen suara pendukung Partai Golkar atau 150 persen dari total suara partai pengusungnya saat itu, menunjukkan bahwa ada dukungan dari masyarakat pemilih lain yang tidak terikat dengan kerja parpol, dan yang paling mungkin adalah dari loyalis sang bapak dahulu.

Itulah sebabnya ketika Pileg 2014, di tengah situasi yang cukup mapan dan hampir tidak ada guncangan sedikitpun, akhirnya pada pileg 2014, Partai Golkar yang dipimpinnya berhasil menguasai kursi parlemen sebanyak 19 kursi dari 45 kursi yang diperebutkan, atau sebanyak 42,22 persen. Dengan jumlah dukungan suara lebih dari 130 ribu ini semakin mengukuhkan kekuatan sang srikandi dalam pilkada yang rencananya bakal digelar serentak di seluruh Indonesia.

Efek Jokowi yang digadang bisa mendongkrak suara dan kursi PDIP yang secara nasional keluar sebagai partai pemenang, justru tidak berdaya dan hanya memastikan PDIP sebagai partai klasik yang meloloskan satu caleg tiap dapil yang diikutinya. Efek Jokowi tidak mempan dan tidak mampu mendobrak ‘Rita efek’ yang mungkin dicibir oleh sebagian pengamat dan masyarakat. Tetapi sebagai orang yang telah cukup lama memantau aktivitas dari bupati wanita ini, maka sayapun meyakini bahwa ‘Rita efek’ memang salah satu faktor yang signifikan dalam peningkatan kursi dan suara Partai Golkar dalam Pileg 2014.

Di tengah pesona blusukan yang seakan-akan menghipnotis bangsa ini dan oleh citra blusukan ini telah menghantarkan Jokowi sebagai Gubernur Daerah Khusus Istimewa Jakarta, bahkan menjadikannya duduk di posisi Presiden Republik Indonesia, suatu kebiasaaan yang membentuk opini masyarakat akan kedekatan dengan rakyat kecil karena mau menjenguk, mendatangi dan menghampiri kaum marjinal, yang menimbulkan simpati rakyat.

Akan tetapi, ketika blusukan yang dilakukan Jokowi ini selalu tertangkap kamera media atau mungkin sengaja mengajak awak media dalam setiap agenda blusukan untuk suatu target yang lebih besar lagi, maka hal tersebut sesungguhnya telah sering dilakukan oleh Rita Widyasari.

Bahkan hal itu hampir tiap saat dilakukan di tengah kesibukan memimpin daerah ini, walaupun jauh dari pemberitaan media. Disadari betul ketika Pilkada 2010, dia mengalami kekalahan signifikan di wilayah pesisir dan sekitarnya, karena isu menganak tirikan wilayah tersebut dari proporsi pembangunan serta anggapan menolak keinginan pemekaran wilayah. Maka hampir setiap minggu, bupati ini berkunjung ke wilayah itu walaupun tidak disertai protokoler, tapi itu terus dilakukan setiap ada kesempatan, walau cuma sekedar mampir di rumah ayah angkatnya.

Dari situlah dapat diamati bahwa isu pemekaran sesungguhnya hanya luapan kekecewaan sekelompok kecil masyarakat yang tidak puas karena termakan isu kurangnya porsi anggaran untuk pembangunan wilayah pesisir, suatu isu tak berdasar dan menyesatkan karena sesungguhnya Program Gerbang Raja baru menyentuh pembangunan wilayah itu di awal tahun ketiga sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang direncanakan.

Untuk itulah perlahan tapi pasti dia memberi pengertian kepada masyarakat tentang pelaksanaan programnya itu. Dan puncaknya, ketika terjadi longsoran yang diakibatkan perusahaan tambang dan memutus akses jalan utama di wilayah itu, bupati wanita ini dengan sigap, lugas dan tegas langsung bertindak mendatangi lokasi longsoran sekaligus menegaskan supaya perusahaan penyebab longsor segera memperbaiki kerusakan. Akibatx semakin banyaklah simpati masyarakat kepada pemerintah daerah, dan kulminasi dari simpatik masyarakat ini didedikasikan lewat kemenangan 60 persen pada pileg di wilayah pesisir dan sekitarx. Suatu kondisi yang jarang terjadi selama kurun waktu 10 tahun terakhir.

Demikian pula wilayah hulu mahakam dan sekitarnya, serta wilayah seberang yang banyak pendukungnya, tiap evaluasi semester, Bupati Kukar ini selalu berkunjung lewat suatu rangkaian perjalanan yang cukup melelahkan, berminggu-minggu di atas kapal kayu sebagai kendaraan sekaligus rumah sementara, membelah deras arus Sungai Mahakam, mengunjungi wilayah yang masih sulit dijangkau lewat daratan karena akses jalan masih rusak, sembari bercengkrama dengan misteri sungai yang menjadi sumber penghidupan masyarakat tradisional.

Dia turut merasakan kerinduan rakyatnya di hulu Mahakam agar didekatkan dengan perkotaan lewat pembangunan akses jalan penghubung yang baik, karena mereka juga ingin merasakan sekalipun cuma sesaat, modernisasi kehidupan perkotaan yang penuh kejutan oleh lakon teknologi yang selama ini hanya disaksikan dalam siaran televisi saja.

Inilah yang saya maksudkan sebagai ‘Rita efek’, kendatipun di sisi lain masih ada suara sumbang yang meragukan kemenangan Partai Golkar di Kukar ini tanpa unsur money politic. Tapi saya tidak mau terlarut dalam polemik dimaksud karena menurut hemat saya, politik di Indonesia saat ini masih berorientasi pada hasil akhir, persoalan cara untuk mencapainya masih dianggap lazim dalam perpolitikan bangsa ini. Apalagi polemik yang dimaksud hanya merupakan kabar angin tanpa didukung data dan fakta. Masih banyak caleg terpilih yang lolos tanpa menggunakan strategi yang dianggap tidak fair itu, sangat banyak.

Kalau dengan hanya mengutak atik angka dan presentase, maka secara sederhana bila membandingkan pileg 2009 dukungan suara Partai Golkar sebesar 66.915 pada Pilkada 2010 bisa mencapai 153.400 atau 55,4 persen, maka dengan hasil pada Pileg 2014, suara Partai Golkar mencapai 130 ribuan maka, bukan tidak mungkin peluang dukungan dalam pilkada mendatang nanti akan berada pada kisaran diatas 250 ribuan suara, bahkan mungkin bisa fenomenal seperti yang dialami oleh Jokowi saat maju sebagai incumbent di Kota Solo dan Fadel Muhammad di Gorontalo.

Di tengah keasyikan mengutak atik angka-angka sembari merumuskan dalil ala Pythagoras, dengan penuh keyakinan dalam sebuah teori awam yang seakan akan presisi dan akurat, kala optimisme makin membuncah dan menyihir rasio, tiba-tiba naluri yang terobsesi ini dihentakkan oleh ringkih suara sahabatku yang daritadi berdiam diri.

Intonasinya menghempasku ke ruang kesadaran, walau suaranya terdengar bagai jeritan bising, tapi lafal aksara yang masuk lewat gendang telingaku sangat lantang dan tegas menembus labirin imajinerku serta merasuk dalam memori pikiran, terekam di pusat syaraf pengingat bahwasanya Pilpres 2014 Kukar, Jokowi unggul 63,79 persen, suatu perbandingan fantastis manakala kita tahu bahwa Ketua Tim Pemenangan Prabowo adalah Sang Srikandi yang fenomenal tadi yaitu Bupati Rita Widyasari.

Selisih antara 207.503 dengan 117.811 suara atau 36,21 persen bukanlah angka kecil dan ringan untuk diwaspadai dan ditangkap sebagai signal siaga akan adanya lubang-lubang kecil yang bisa diterobos oleh unsur tertentu dan memasuki ruang hampa dan membawa suara pemilih terbang mengambang dan akhirnya hinggap di tempat orang lain.

Kembali terbersit ragu terhadap dalil awam yang kurumuskan sendiri, apakah Jokowi efek memang mujarab ataukah ada faktor penentu lain yang menyimpang dari pendekatan teori politik dan teori pendekatan politik?

Ah, daripada volume otak saya terkontaminasi angka-angka argoritma dan menjadi bingung oleh anomali yang ada, lebih baik keruwetan pikiran ini diobati saja dengan kemujaraban adagium latin yang terkenal, vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Toh untaian aksara ini walau sumir tapi selalu menjadi pamungkas yang sukses dalam mengakhiri setiap tanya yang melahirkan kebuntuan dalam berbagai diskusi dan analisa politik.

Dengan demikian saya tidak lagi berandai andai tentang peluang apabila sosok Prabowo benar-benar hadir dalam kegiatan kampanye di suatu waktu dan tempat di wilayah Kukar, tidak perlu berspekulasi tentang semangat juang yang terdegradasi dalam diri sang srikandi karena tidak ada hirarki garis kepartaian dengan figur Prabowo, tidak perlu berprasangka soal perasaan enggan sang ponakan terhadap paman yang menjadi kordinator sekaligus pimpinan tim sukses Kaltim yang mungkin agak ‘canggung’ terhadap ‘sang putra’ yang notabene berpeluang besar menduduki kursi parlemen di senayan melalui partai yang mengusung Jokowi sebagai calon presiden.

Tak terasa , bedug magrib menggugah keasyikan kami mengobrol, mentari seakan sirna kala masuk peraduannya, terganti oleh gelap malam tanpa cahaya rembulan, rasa penasaran semakin membuncah dalam dada sahabatku. Rasa ingin tahu semakin menambah kekesalan hatinya karena saya belum jua memberikan jawaban atas pertanyaan yang selama ini mengganggu benaknya.

Sayapun tak tega membiarkannya terkungkung rasa penasarannya itu. Keberuntungan memang lagi menaungi bupati wanita itu, ketidakpastian pengesahan perubahan UU No. 32 Tahun 2004 sempat membuat para kandidat penantang hanya berani menempatkan namanya dalam pooling media cetak, namun tidak berani bersikap untuk mempersiapkan diri dengan membentuk tim sukses masing-masing. Belum jelasnya ketentuan pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau pemilihan langsung oleh rakyat, seakan meletakkan suatu demarkasi bagi langkah para pesaing untuk mempersiapkan diri. Kondisi ini menurut hemat saya semakin menambah panjang daftar keuntungan dan keunggulan dari sang incumbent. Ibarat lomba lari 100 meter, maka Rita Widyasari memulai star pada garis 50 meter, sedangkan yang lain dari titik nol.

Oleh karena itu dengan melihat daftar panjang keunggulan incumbent yang cukup signifikan dan hampir menyentuh semua sisi dari sektor dan faktor pendukung, maka dapat diyakini bahwa srikandi tangguh masih sangat berpeluang untuk menduduki lagi kursi Bupati Kukar.

Menjelang akhir goresan tinta ini, secangkir kopi dan beberapa potong kue apam pranggi, penganan khas tanah Kutai telah berpindah mengisi perut kami. Sembari berharap tidak terjadi hal luar biasa dalam perpolitikkan di negeri gemah ripah loh jinawi ini, saya berharap dan memberi saran agar sang incumbent tidak over confidence dengan berbagai keunggulan yang ada.

Untuk kesekian kalinya adagium vox populi vox dei menjadi obat mujarab sekaligus tanda peringatan bagi incumbent, untuk menyadari bahwa dengan presentase 70:30 untuk keunggulan tim pendukung Prabowo bila kita berkaca dari hasil pemilu legislatif lalu, tapi justru hasil akhir penghitungan konkrit, suara Prabowo hanya mencapai 36,21 persen dibanding suara Jokowi yang mencapai 63,79 persen.

Tidak ada yang mustahil di dunia nyata ini, kenyataan membuktikan bahwa kemenangan telak Jokowi di Kukar pada Pilpres lalu, harus menjadi pengalaman berharga sekaligus fokus ke hati hatian dalam merinci dan mengukur kekuatan dan kelemahan lawan juga kekuatan dan kelemahan diri sendiri.

Sekecil apapun faktor tersebut, sangat berperan untuk para kandidat calon peserta Pilkada mendatang, khusus incumbent, sejogyanya tidak menganggap enteng fenomena Pileg lalu, apalagi ketika melihat nama-nama calon hasil survei yang terpampang di beberapa media cetak, memiliki kapasitas dan potensi yang tidak diragukan lagi keberadaannya dan didukung juga oleh kemampuan finansial. Apabila dikelola oleh tim sukses yang profesional, maka keperkasaan incumbent bisa terusik, apalagi dengan keberanian berspekulasi mempersiapkan tim sukses di seluruh desa yang berada di Kukar.

Mari kita nantikan ujung dari penantian yang penuh harap ini sembari menyatukan tekad untuk turut ambil bagian dalam Pilkada Kukar mendatang dengan semangat dan rasa kebersamaan untuk menjadikan dan menjaga momen bersejarah itu tetap berlangsung aman, tertib dan tenang, dan dalam slogan “sukseskan Pilkada damai.”

Apakah srikandi wanita ini akan teguh laksana batu karang dalam menghadang derasnya gelombang pilkada nanti? Sejarah akan menorehnya dalam lembaran penting dan menjadi catatan berharga bagi generasi yang akan datang. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *