Dentingan Sendu Gitar Tak Berdawai
Sore itu, dalam perjalanan pulang setelah menemani seorang sahabat yang duduk sebagai wakil rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), seusai meninjau lokasi jalan yang menghubungkan Kota Tenggarong dengan Desa Sanggulan, Kecamatan Sebulu, sebuah poros jalan yang seakan terabaikan di tengah semaraknya pembangunan infrastruktur jalan, padahal itu adalah program utama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar di bawah kepemimpinan Bupati Rita Widyasari dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Setelah memahami dan memberi pengertian kepada perwakilan warga masyarakat di 9 desa sekitarnya bahwa jalan dimaksud masih terkait dengan jalan milik perusahaan swasta sejauh 2 kilo meter (km) dan dilalui oleh kendaraan berat untuk kepentingan pengangkutan sawit dan batubara. Karena itu tidak bisa memaksa Pemkab Kukar untuk segera membangun infrastruktur jalan sejauh 13 km tersebut. Langkah terbaiknya adalah mengikuti rencana pembangunan yang sudah dirancang oleh instansi terkait walaupun jarak tempuh menjadi sejauh 22 km, dengan memutar ke arah Rapak Lambur, selanjutnya kembali berkelok menuju jalur poros Sanggulan. Itulah solusi terbaik yang bisa menyenangkan semua pihak.
Perjalanan melelahkan ini menjadi tidak terasa tatkala semua pihak sepakat memaklumi kondisi yang ada. Saya pun tersentak serta tersadar dari lamunan kilas balik sesaat tadi oleh kumandang suara azan maghrib dari sebuah mesjid di kawasan Tanjong yang terletak di sudut Jalan Diponegoro, Tenggarong.
Refleks saya membelokkan arah mobil dan masuk ke sebuah kawasan kecil yang dikenal dengan nama Pasar Seni.
Entah kapan berdirinya tapi menurut cerita, dulunya merupakan pasar tempat berbelanja abdi dalem keraton Kesultanan Kutai ing Martadipura untuk keperluan dapur memasak kerabat bangsawan, yang selanjutnya dialihfungsikan sebagai pasar tempat penjualan barang seni.
Sembari menyeruput secangkir kopi dan menerawang hiruk pikuk kendaraan yang naik turun dari kapal feri tradisional di depan sana, terbesit tanya menyeruak dalam benakku, kenapa tetap dinamai Pasar Seni kalau pada kenyataannya tidak ada lagi gadis kecil berjualan barang- barang seni atau barangkali tempat nongkrong komunitas seni tradisional maupun modern, tapi hanya deretan warung warung kopi dan penjual nasi goreng yang menempatinya.
Memang sebagai seorang yang pernah duduk sebagai wakil rakyat, setidaknya saya mengetahui rencana dan program pemerintah untuk menata kawasan ini menjadi pusat kegiatan usaha kecil dan menengah dan mikro, akan tetapi rencana itu mestinya berbarengan dengan penataan turap yang dibangun di jalur Jalan Diponegoro dan bersamaan pula dengan penataan kawasan Tanjong yang akan disulap menjadi seperti ‘ kampong air ‘ yang sohor di negeri jiran Brunai Darusalam .
Perencanaan penataan kawasan yang terletak disamping museum Mulawarman itu merupakan satu kesatuan penataan yang brilian dalam pembangunan Kota Tenggarong mengingat sejarah Kutai, sebagai tonggak awal sejarah nusantara.
Daya tarik Kutai sebagai kerajaan Hindu tertua di Indonesia, akan terpadu serasi dengan keberadaan kawasan – kawasan yang unik seperti rencana penataan Pasar Seni dan kawasan ‘Tanjong’ dan kombinasi ini akan memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan pada waktu-waktu mendatang,
Apalagi pemahaman tentang Kutai Kartanegara yang unik ini masih menyisakan misteri akibat kurangnya penjelasan sejarah perpaduan kerajaan Kutai yang berdiri abad ke 4 di Muara Kaman dengan kerajaan Kutai abad ke 13 di Kutai Lama. Sehingga melahirkan nama Kutai Kartanegara ing Martadipura, sebuah penyatuan kerajaan pada abad 16 oleh Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa.
Belum lagi sejarah perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi kesultanan, sebuah ciri pergeseran budaya Hindu ke budaya Islam akibat kunjungan seorang mubaligh bernama Tunggang Parangan pada abad 17, begitu banyak misteri sejarah yang belum disebarluaskan dalam pemberitaan ilmu pengetahuan oleh keberadaan negeri ini.
Saat kumandang azan berhenti dan waktu untuk sholat maghrib berakhir sayapun bergegas untuk pulang sembari berharap proses pembangunan terpadu ini cepat selesai dan masyarakat Tenggarong bisa merasakan sebuah perubahan peradaban. Saat sepanjang jalur Diponegoro itu dihiasi taman taman indah dengan penataan yang diatur sebagai taman informasi teknologi sehingga semua lapisan masyarakat bisa ber internetan dengan santai, dan di tempat bekas relokasi warga Tanjong, berdiri dengan anggun kawasan wisata kampong air yang bisa diisi beragam khas warung modern untuk bersantai. Ngopi sembari berdiskusi sekaligus bisa menjadi tempat lokakarya bagi pelajar dan mahasiswa, belajar di alam terbuka untuk membuka wawasan berpikir dalam suasana rileks dan santai menjauh dari rutinitas belajar mengajar yang membosankan didalam ruang kelas. Atau bahkan bisa menjadi tempat workshop bagi para legislator maupun birokrat sehingga tidak melulu kegiatan menambah kapasitas diri itu dilaksanakan di luar kota dan menimbulkan persepsi negatif oleh rakyat yang diwakili. Atau mungkin juga bisa dijadikan tempat menjamu tamu dari daerah lain dengan lebih santai, sekaligus mempromosikan sejarah kerajaan Kutai lewat rekaman film pendek yang telah ditata dan disiapkan disana, semua akan terjawab pada waktunya.
Akan tetapi satu hal yang tak pernah pupus dari anganku adalah keberadaan Pasar Seni yang akan beralih fungsi menjadi kawasan pasar usaha kecil dan mikro, harus benar – benar dirancang dengan baik dan tidak melupakan keberadaan warung warung kopi kecil dan para penjual nasi goreng agar mereka juga dipersiapkan dan teralokasi dengan baik di kawasan baru nanti. Kawasan itu benar benar memperjualbelikan dagangan hasil industri rumah khas Kutai yang selama ini dinantikan namun tidak pernah dipamerkan.
Produk industri rumah yang banyak dijumpai di wilayah Kukar belum diolah menjadi barang dagangan alias oleh oleh khas Kutai sehingga membuat para wisatawan lokal maupun mancanegara selalu mengingat Kutai Kertanegara, tidak hanya keberadaan kerajaan Hindu tertua saja tetapi juga karena produk penganan dan produk industri rumah lainnya yang unik dan memiliki karakter dan ciri khas Kutai.
Sehingga nama Pasar Seni yang entah akan berubah menjadi nama lain atau tidak, selalu berkumandang merdu bagaikan dentingan suara gitar yang memainkan irama musik klasik, bahkan menjadi ikon kota Tenggarong di seantero jagat karena memiliki ciri khas tertentu yang patut dibanggakan.
Pasar Seni tidak lagi menjadi kenangan masa kecil dibalik mimpi gadis-gadis kecil penjaja gelang manik-manik yang ingin memamerkan kebolehan menata butiran manik menjadi gelang-gelang, namun mereka tidak kuasa bertahan ditengah modernisasi dan membuat desain manik mereka terlihat usang. Sementara toko modern telah mendesain bermacam corak manik menjadi aksesori modern dengan mesin-mesin teknologi canggih dan mereka kehilangan mata pencaharian sekaligus kebanggaan akan seni budaya yang turun temurun itu.
Mereka hanya bisa memandang dari kejauhan ketika sepi mulai meradang dalam sunyi, satu persatu gadis gadis kecil ini pergi menjauh dari pasar itu, dengan langkah gontai tanpa kepastian kemana arah tujuan mereka. Sementara sayup kudengar mendayu sumbang alunan musik tingkilan, berdenting sesaat lalu lenyap, bagaikan dentingan sendu sebuah gitar yang tak berdawai. []