Tarian di Tengah Badai
KEGIATAN memperoleh barang dan jasa yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa merupakan aktivitas yang selalu berlangsung dalam tatanan pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia pada setiap tahun anggaran.
Namun ketetapan tahun anggaran meliputi masa satu tahun mulai 1 Januari sampai 31 Desember sebagaimana diatur pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No.17/2003), pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU No.1/2004) serta beberapa regulasi tertentu lainnya, menjadi lonceng peringatan bagi penyelenggara negara terutama pemerintah daerah untuk berhenti dan menyelesaikan administrasi kegiatan bernegara di daerah tepat sesaat sebelum terompet tahun baru dikumandangkan.
Hal ini seringkali menjadi penghalang bagi geliat pembangunan di daerah daerah mengingat budaya birokrasi yang selalu memulai aktivitas pada bulan April karena harus menunggu rampungnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan tahun sebelumnya dan proses persiapan harus dimatangkan serta telah mendapat kepastian kesiapan anggaran daerah berupa penyerahan daftar pengisian anggaran ke daerah daerah.
Di satu sisi ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu berimbas pada pemutusan kontrak bahkan bisa di-blacklist-nya pengusaha, sementara di sisi lain masih terdapat banyak faktor penghambat yang menyebabkan terlambatnya kegiatan lelang pengadaan barang dan jasa sehingga pada akhirnya ketika proses pengerjaan dilaksanakan, waktu kontrak dibuat seoptimal mungkin agar memenuhi sisa hari di tahun berkenan.
Kondisi ini seringkali menyebabkan Para penyedia lantas melakukan praktik praktik tidak terpuji ketika pada pelaksanaannya sampai dengan batas waktu kontrak, pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya belum terselesaikan dengan baik. Kompromi dan pemakluman diatur dengan berbagai macam cara supaya tidak ada pihak yang dirugikan.
Berbagai alasan karena kondisi alam, lambatnya transportasi dan hal hal diluar dugaan lainnya seakan memberi restu untuk bersepakat menganggap pekerjaan sudah selesai atau menambah waktu kerja dengan memperpanjang masa kontrak bahkan mengurangi volume pekerjaan sehingga waktu ditargetkan tercapai.
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Perpres 70/2012), seakan menjadi oase di gurun pasir bagi kepentingan hubungan kerja antara pengusaha yang berkutat di bidang pengadaan barang dan jasa dengan pihak pemerintah sebagai pemberi kerja.
Diberikannya kewenangan memutus kontrak kerja kepada pejabat pembuat komitmen apabila sampai batas waktu kontrak berakhir namun pekerjaan belum selesai walaupun diberikan waktu tambahan 50 hari, menjadi ruang ‘misteri’ yang dimanfaatkan supaya penyedia barang pada akhirnya mampu menyelesaikan pekerjaan, karena itu dilakukanlah perubahan kontrak dengan menambahkan toleransi waktu selama 50 hari.
Kemudahan inilah yang kemudian menjadi isu dan topik yang ramai diperbincangkan di seluruh daerah di wilayah nusantara. Kehadiran peraturan perundangan ini seakan menyihir Semua pihak di republik ini bahwasanya kendala dan hambatan pembangunan telah teratasi. Gairah dan semangat yang mulai runtuh kini bangkit kembali untuk menata kembali pelaksanaan pembangunan yang tadinya dianggap tidak mendukung keberlangsungan pembangunan dan terlalu mengedepankan ketepatan waktu tanpa toleransi.
Regulasi ini terasa menyejukkan, laksana suara merdu mempesona yang berasal dari dentingan senar biola atau alunan kecapi, sehingga membuat semua insan terpesona oleh merdunya irama lagu yang didendangkan.
Pesona musik oleh dentingan biola dan kecapi ini semakin mendayu dan pada akhirnya semua pihak lalu berpesta dan mempertontonkan tarian yang kian lama semakin liar dan binal.
Pemakluman dan penambahan waktu 50 hari sebagaimana ditetapkan oleh peraturan Perpres 70/2012 pada pasal 93 itu pada akhirnya disikapi sebagai kebebasan tanpa batas, dengan memberikan hak penyedia itu tanpa memperhitungkan kemampuan penyedia serta kenyataan yang terlaksana pada waktu normal.
Progres pekerjaan 200 hari yang cuma sebesar 50 persen malah diberikan kesempatan dalam perubahan kontrak untuk menambah waktu 50 hari, akibatnya pada batas akhir penambahan waktu, pekerjaan tetap tidak terselesaikan.
Kondisi ini semakin di perparah dengan adanya fakta konkrit bahwasanya kesempatan inipun diberikan sampai hari yang melewati tahun berkenan dan memasuki tahun berikutnya, padahal pemakluman melewati tahun anggaran ini sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194 tahun 2014 tentang Penyelesaian Pekerjaan Melewati Akhir Tahun Anggaran (PMK 194/2014) hanya diberlakukan bagi kepentingan kegiatan pengadaan barang dan jasa di lingkup kementrian/lembaga, sehingga daerah daerah yang ingin melaksanakan penambahan waktu 50 hari dan melewati tahun anggaran, haruslah memiliki peraturan bupati yang mengacu pada PMK 194/2014.
Keberadaan Perbup itupun harus memperhatikan ketentuan perundangan dengan mengkoordinasikan kecukupan anggaran tahun berikut yang dianggarkan sebagai pembiayaan dari kegiatan dimaksud dan tidak boleh menunggu pekerjaan selesai lalu dihitung dan dipertimbangkan sebagai utang daerah untuk selanjutnya dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBDP), karena bertentangan dengan azas dan prinsip beranggaran yang mengatur bahwa pekerjaan tidak bisa dilaksanakan apabila tidak teranggarkan (voorfinanciring) .
***
Pro dan kontra mulai bermunculan dimana mana ketika hal itu terjadi, bahkan di warung warung kopi ditengah masyarakat kecil yang tidak terlalu memahami apa yang mereka bicarakan tapi selalu nampak di depan mata mereka.
Dan pada pagi itu ketika saya mampir di sebuah warung kopi kecil bernama Mbeko yang cukup terkenal di kalangan penikmat kopi di kota Tenggarong, bising kudengar beberapa pengunjung sedang berdiskusi tentang kegiatan pembangunan yang pada kenyataannya dianggap melaksanakan kegiatan pekerjaan diluar ketentuan peraturan perundang-undangan tantang pengadaan barang dan jasa.
Tidak berselang lama hidangan secangkir kopi susu kegemaran saya ditemani tiga butir telor setengah matang telah hadir didepan saya, inilah ciri khas warung kopi kecil di pojokan jalan ini, setiap pelanggan tidak perlu memesan lagi karena para pelayan sudah tahu dan halal dengan kebiasaan pelanggan, itu sebabnya tanpa memakan waktu pesanan sudah tersedia sesuai selera masing-masing.
Tiba tiba, sebelum saya sempat menikmati kopi susun yang dihidangkan, seorang kenalan yang tergabung dalam keasyikan kelompok diskusi tadi, meminta pendapat tentang topik bahasan diskusi mereka karena saya pernah duduk jadi anggota legislatif dan dianggap memahami hal tersebut.
Dan saya pun memberikan pendapat dan pandangan berikut: Dengan telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Perpres 4/2015), maka pekerjaan pengadaan barang dan jasa itu diperbolehkan melewati tahun anggaran dengan ketentuan tetap seperti penambahan 50 hari yang tidak boleh melewati tahun anggaran. Namun ada sedikit penanganan pada pasal penjelasan bahwa prinsip dasarnya bukan hanya kepada penambahan waktu secara otomatis melainkan kepada kesiapan anggaran tahun berikut agar ada penyesuaian, dan yang pasti adalah kepastian bahwa penyedia barang mampu untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan bila diberikan toleransi waktu 50 hari. Dan sudah barang tentu setiap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) harusnya menyikapi upaya upaya pembenahan regulasi oleh Pemerintah ini dengan baik dan substansial agar kegiatan pengadaan barang dan jasa tidak menjadi beban hukum dan tanggung jawab personal bagi kepala daerah sebagai pengelola anggaran daerah .
Harapan yang terpenuhi dengan perbaikan perbaikan regulasi yang semakin memudahkan daerah dalam hal pengadaan barang dan jasa ada baiknya disikapi secara cermat untuk tidak dipraktikkan secara binal dan liar, tapi juga harus mematuhi rambu rambu yang telah diatur, dan dengan demikian maka irama kerja akan lancar dan tidak terganggu oleh kekawatiran akan tersangkut masalah di kemudian hari.
Maka menarilah dengan lincah tapi teratur, bukan tarian dalam badai yang membawa risiko tatkala kita terseret dalam pusaran badai pelanggaran ketentuan hukum dan perundangan. [] ***