Walhi: Penambangan Pasir Laut Sebuah Bom Waktu bagi Ekosistem Pesisir Banten
SERANG – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut, pemberian izin untuk penambangan pasir laut hanya akan memberikan dampak negatif kepada pemerintah, masyarakat, dan ekosistem laut.
Bahkan, pemerintah butuh biaya lima kali lipat apabila ingin mengembalikan kondisi lingkungannya seperti semula.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut pada Walhi Nasional, Parid Ridwanuddin, menyatakan bahwa ada banyak kehancuran yang akan terjadi akibat dibukanya izin penambangan pasir laur di pesisir pantai Banten, mulai dari kehancuran lingkungan, kehancuran ekonomi masyarakat, hingga kehancuran ekologi.
“Ekosistem laut kan sangat kaya ya, tempat berkembang biaknya ikan, kepiting, terumbu karang, itu sangat berharga. Kalau hilang akan sulit untuk dipulihkan. Nah, ini kerugiannya lebih besar dari keuntungan ekonomi yang dihasilkan,” tegasnya dikutip RadarBanten, Selasa 15 Oktober 2024.
Parid menyebut, pemberian izin untuk penambangan pasir laut di pesisir Banten hanya akan memberikan keuntungan jangka pendek. Bahkan, pemerintah harus mengeluarkan biaya lima kali lipat ketika ingin kembali memulihkan lingkungannya.
“Ini berdasarkan studi yang kami punya. Pendapatan yang masuk ke Pemerintah Daerah itu tidak sebanding dengan kehancuran yang ditimbulkan. Nah, ini baru dari hitungan ekonominya,” katanya.
Ia mengungkapkan, dari studi yang dilakukan Walhi, asosiasi pengusaha pasir laut Indonesia harus membayar Rp 16,8 juta per hektare. Namun, pengusaha menawarnya menjadi Rp 12 juta per hektare.
“Jadi nanti yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk memulihkan lima kali lipat. Jadi sebenarnya negara rugi, masyarakat rugi, lingkungan hancur,” ujarnya.
Secara ekologi, lanjut Parid, akan ada perubahan arus yang cukup kencang di daerah sekitar lokasi penambangan yang akhirnya akan memicu terjadinya abrasi di wilayah pesisir.
“Banyak tempat seperti di Makassar, Lombok, itu benar-benar hancur. Di Makassar, nelayan rugi hingga Rp 8 miliar akibat penambangan pasir laut. Lalu, nelayan di Lombok Timur sampai harus ke NTT nangkap ikannya,” ujarnya.
Ia mengaku, sebelumnya sudah sempat melakukan studi di wilayah Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, dan sekitar perairan yang terdampak akibat penambangan pasir laut yang dulu sempat aktif.
“Dulu teman-teman nelayan di Pulau Tunda dalam satu bulan bisa mendapatkan 30 ton, setelah ada tambang pasir laut itu hanya empat ton. Itu studi saya saat 2016,” ujarnya.
Parid pun mendesak agar pemerintah tidak berpikir jangka pendek dan memikirkan keuntungan jangka pendek saja.
Ia menegaskan, generasi yang akan datang memiliki hak untuk menikmati lingkungan hidup yang baik.
“Artinya kalau mereka mengeluarkan izin untuk pasir laut, mereka sudah menyimpan bom waktu, kehancuran lingkungan di masa yang akan datang,” pungkasnya. []
Nur Quratul Nabila A