Penghijauan di Wonogiri: Upaya Atasi Longsor dan Serangan Kera di Wilayah Rawan Bencana

WONOGIRI – BPBD Wonogiri bersama sejumlah pihak terus mengintensifkan kegiatan penghijauan di berbagai wilayah.

Langkah ini dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana alam, menangani serangan kera, serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan.

Kepala Pelaksana BPBD Wonogiri Fuad Wahyu Pratama menjelaskan, pada Kamis (23/1/2025), pihaknya melakukan penanaman bibit pohon di Desa Selomarto, Kecamatan Giriwoyo.

Kegiatan ini melibatkan Forkompimcam serta para penerima manfaat program beasiswa pemuda berprestasi (Imapres) Giriwoyo.

Menurut Fuad, Desa Selomarto menghadapi dua permasalahan utama, yakni ancaman longsor akibat kontur perbukitan.

Serta gangguan dari kawanan monyet ekor panjang yang kerap memasuki pemukiman warga.

“Potensi longsor tetap ada karena wilayahnya berbukit. Namun, yang paling dirasakan warga adalah serangan monyet ekor panjang,” jelas Fuad dikutip Radar Solo.

Beberapa jenis bibit yang ditanam meliputi jambu biji, sirsak, rambutan, beringin, dan tabebuya.

Penanaman ini tidak hanya bertujuan mengurangi risiko longsor dan serangan kera, tetapi juga mengajak masyarakat agar lebih peduli terhadap kelestarian lingkungan.

“Kami berharap, Imapres dapat menyampaikan pesan pelestarian lingkungan kepada masyarakat melalui berbagai forum yang mereka ikuti,” tambahnya.

Selain di Desa Selomarto, BPBD Wonogiri juga melaksanakan penghijauan di Desa Sumber, Kecamatan Purwantoro, Rabu (22/1/2025).

Reboisasi dilakukan di wilayah Gunung Brojo dengan menanam setidaknya 800 bibit tanaman.

Program penghijauan ini menjadi salah satu upaya BPBD Wonogiri untuk mengurangi risiko bencana dan menjaga kelestarian alam di wilayah-wilayah rawan bencana. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Lainnya

WELLINGTON — Kasus medis tak biasa terjadi di Selandia Baru setelah seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun menelan hingga 100 magnet kecil berkekuatan tinggi yang dibelinya melalui platform belanja daring Temu. Aksi berbahaya tersebut berujung pada operasi besar setelah magnet-magnet itu menyebabkan kerusakan serius pada organ dalam tubuhnya. Remaja itu semula dibawa ke Rumah Sakit Tauranga, Pulau Utara, karena mengalami nyeri perut selama empat hari. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, dokter menemukan adanya kumpulan magnet di dalam usus. “Dia mengungkapkan telah menelan sekitar 80–100 magnet berkekuatan tinggi (neodymium) berukuran 5×2 milimeter sekitar satu minggu sebelumnya,” tulis laporan di New Zealand Medical Journal, Jumat (24/10/2025). Magnet neodymium tersebut sejatinya sudah dilarang beredar di Selandia Baru sejak 2013 karena risiko keselamatan yang tinggi, terutama bagi anak-anak. Namun, laporan mengungkapkan bahwa remaja ini masih bisa membelinya secara daring melalui Temu, salah satu platform e-commerce asal Tiongkok yang tengah populer secara global. Hasil sinar-X memperlihatkan magnet-magnet itu menggumpal membentuk empat garis lurus di dalam perut sang remaja. “Ini tampaknya berada di bagian usus yang terpisah namun saling menempel akibat gaya magnet,” ujar pihak medis. Kondisi itu menyebabkan nekrosis, atau kematian jaringan, di empat area usus halus dan sekum, bagian dari usus besar. Tim dokter bedah kemudian melakukan operasi pengangkatan jaringan mati sekaligus mengeluarkan seluruh magnet dari tubuh pasien. Setelah menjalani perawatan intensif selama delapan hari, remaja tersebut akhirnya diperbolehkan pulang. Dalam laporan medisnya, dokter Binura Lekamalage, Lucinda Duncan-Were, dan Nicola Davis menulis bahwa kasus ini menjadi pengingat bahaya besar yang bisa timbul dari akses bebas anak-anak terhadap produk berisiko di pasar online. “Kasus ini tidak hanya menyoroti bahaya konsumsi magnet, tetapi juga bahaya pasar daring bagi populasi anak-anak kita,” tulis mereka. Selain itu, para ahli juga memperingatkan kemungkinan komplikasi jangka panjang akibat insiden ini, termasuk sumbatan usus, hernia perut, serta nyeri kronis yang dapat muncul di kemudian hari. Menanggapi laporan tersebut, pihak Temu menyampaikan penyesalan dan berjanji akan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. “Kami telah meluncurkan tinjauan internal dan menghubungi penulis artikel New Zealand Medical Journal untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,” ujar juru bicara Temu dalam pernyataan resminya. Namun, Temu menyebut belum dapat memastikan apakah magnet yang digunakan anak tersebut benar-benar dibeli melalui platform mereka. “Meskipun demikian, tim kami sedang meninjau daftar produk yang relevan untuk memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan keselamatan setempat,” tambahnya. Temu, yang merupakan raksasa e-commerce asal Tiongkok, beberapa kali dikritik di pasar internasional, termasuk di Uni Eropa, karena dinilai belum cukup tegas dalam menyaring produk berbahaya atau ilegal yang beredar di platformnya. Kasus ini menegaskan pentingnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas belanja dan penggunaan internet oleh anak-anak, sekaligus menjadi peringatan bahwa satu klik di dunia digital bisa berujung pada konsekuensi serius di dunia nyata.