Dua Polisi Calo Bintara Polri Dituntut Dua Tahun Penjara atas Kasus Suap
SEMARANG – Dua anggota polisi yang terlibat dalam kasus calo penerimaan Bintara Polri 2022 menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang. Keduanya, Dwi Erwinta dan Zainal Abidin, dituntut hukuman dua tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kota Semarang.
“Menuntut Majelis Hakim menjatuhkan hukuman dua tahun penjara dikurangi selama masa tahanan,” kata JPU Mursiyono dalam persidangan, Selasa (4/2/2025).
Selain hukuman penjara, masing-masing terdakwa juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp50 juta, dengan ketentuan subsider dua bulan kurungan. Jaksa juga menyatakan bahwa barang bukti uang Rp200 juta dari terdakwa Dwi Erwinta serta Rp50 juta dari terdakwa Zainal Abidin dirampas untuk negara.
Dalam persidangan, jaksa memaparkan bahwa berdasarkan keterangan saksi, ahli, serta pengakuan terdakwa, keduanya terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai anggota panitia penerimaan Bintara Polri 2022, mereka terbukti menerima suap dengan menjanjikan kelulusan calon siswa.
“Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, sebagai anggota Polri aktif, seharusnya mereka memahami hukum dan sanksinya,” ujar jaksa.
Namun, ada beberapa faktor yang meringankan tuntutan, yaitu keduanya telah diberhentikan dengan tidak hormat (PTDH) dan belum pernah terlibat kasus hukum sebelumnya. Selain itu, terdakwa mengakui perbuatannya dan bersikap kooperatif dalam persidangan.
Ketua Majelis Hakim R. Hendral memberikan kesempatan kepada terdakwa dan penasihat hukumnya untuk mengajukan pledoi atau pembelaan pada sidang berikutnya.
“Silakan mengajukan pledoi pada Selasa, 11 Februari 2025. Terdakwa juga dapat menyampaikan pembelaannya sendiri,” ujar hakim.
Dalam sidang sebelumnya, terdakwa Dwi Erwinta mengakui telah menerima suap dari enam orang tua calon Bintara dengan nominal bervariasi antara Rp280 juta hingga Rp450 juta per orang. Padahal, sebagai panitia seleksi, ia tidak memiliki kewenangan untuk menentukan kelulusan calon siswa.
Hal serupa juga dilakukan oleh terdakwa Zainal Abidin, yang mengakui menerima suap sebesar Rp350 juta dari salah satu orang tua calon siswa Bintara. Meski begitu, mereka tetap menawarkan jasa untuk meloloskan peserta seleksi.
Kasus ini menjadi sorotan karena mencoreng transparansi dan integritas dalam proses rekrutmen anggota kepolisian. Keputusan akhir terkait vonis keduanya akan ditentukan dalam sidang berikutnya setelah pembacaan pledoi. []
Nur Quratul Nabila A