250 Eks Agen Mossad Desak Israel Hentikan Perang Gaza dan Utamakan Sandera

JAKARTA — Sebanyak 250 mantan agen dinas intelijen Israel, Mossad, menandatangani petisi terbuka yang mendesak pemerintah Israel menghentikan agresi militer di Jalur Gaza, Senin (14/4/2025).
Petisi itu menyerukan agar upaya pembebasan para sandera lebih diutamakan ketimbang serangan militer terhadap kelompok Hamas.
Mengutip laporan The Guardian, surat tersebut mengecam meningkatnya operasi militer sejak runtuhnya gencatan senjata pada Maret lalu, serta menuding Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memanfaatkan perang demi kepentingan politik pribadinya.
“Perang terutama melayani kepentingan politik dan pribadi dan bukan kepentingan keamanan,” tulis para penandatangan petisi.
Hingga saat ini, otoritas Israel meyakini masih ada 24 dari 58 sandera yang tersisa dalam kondisi hidup setelah penculikan besar-besaran oleh Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu di wilayah selatan Israel.
Petisi yang ditandatangani para eks Mossad ini menambah deretan tekanan dari internal militer dan keamanan Israel terhadap kebijakan perang pemerintahan Netanyahu.
Sebelumnya, hampir 1.000 tentara cadangan dan pensiunan perwira Angkatan Udara Israel turut menyuarakan tuntutan serupa.
Dukungan terhadap penghentian perang juga datang dari anggota Unit 8200—unit intelijen militer elite Israel—serta ratusan dokter cadangan.
Pada hari yang sama, lebih dari 1.500 mantan dan prajurit aktif dari korps lapis baja dan pasukan terjun payung Pasukan Pertahanan Israel (IDF) juga menandatangani surat terbuka yang menyerukan gencatan senjata segera. Surat tersebut ditulis oleh Kolonel (Purn) Rami Matan, mantan wakil komandan IDF.
“Kami adalah prajurit yang telah mengabdi pada negara sepanjang hidup kami. Kami telah mengemudikan tank, memimpin pasukan, dan membayar harga yang mahal. Pengalaman inilah yang mendorong kami hari ini untuk menyerukan gencatan senjata,” tulis Matan.
Petisi dan surat terbuka ini menggarisbawahi meningkatnya ketidakpuasan atas keputusan Netanyahu untuk terus melanjutkan serangan ke Gaza.
Para pengkritik menilai keputusan tersebut semata-mata untuk meredam tekanan dari mitra koalisi sayap kanan yang mengancam menarik dukungan apabila Hamas tidak dihancurkan secara total.
Menanggapi kritik tersebut, Netanyahu melabeli para penandatangan petisi sebagai “kelompok pinggiran ekstrem” dan memerintahkan pemecatan seluruh prajurit cadangan yang masih aktif dan ikut menandatangani.
Sementara itu, proses negosiasi antara Israel dan Hamas masih berlangsung di Kairo dengan mediasi Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat.
Salah satu usulan terbaru yang muncul adalah pembebasan 10 sandera Israel sebagai imbalan atas gencatan senjata awal selama 45 hari.
Menurut pejabat Hamas yang dikutip media Lebanon, Al Mayadeen, perundingan tahap kedua akan mencakup pembahasan gencatan senjata permanen, penarikan pasukan Israel dari Gaza, dan pelucutan senjata Hamas.
Namun, juru bicara Hamas, Taher Al Nunu, menegaskan bahwa pelucutan senjata adalah syarat yang tidak dapat dinegosiasikan.
“Hamas bersedia membebaskan semua tawanan Israel dengan imbalan kesepakatan pertukaran tahanan yang serius, diakhirinya perang, penarikan pasukan Israel dari Jalur Gaza, dan masuknya bantuan kemanusiaan,” ujarnya. []
Nur Quratul Nabila A