Aksi Kamisan di Mapolda Jateng Soroti Kekerasan terhadap Jurnalis

SEMARANG — Kalangan jurnalis dan aliansi masyarakat sipil menggelar Aksi Kamisan di depan Markas Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Mapolda Jateng), Kecamatan Semarang Selatan, untuk memprotes maraknya kekerasan terhadap pekerja pers di Indonesia.
Aksi berlangsung sejak pukul 16.50 WIB dan diwarnai dengan pengibaran poster-poster bertuliskan “Save Journalist”, “Jurnalis Bukan Teroris”, hingga “Journalist is Not a Crime, Brutality Is”. Tema utama yang diangkat dalam aksi ini adalah “Kalau Aparat Berani Nempeleng Jurnalis, Artinya Demokrasi Sedang Terancam”.
Koordinator lapangan aksi, Raditya Mahendra Yasa, mengecam insiden pemukulan terhadap jurnalis foto Kantor Berita Antara oleh ajudan Kapolri pada Sabtu, 5 April 2025 lalu. Peristiwa tersebut, menurutnya, mencerminkan pola represif aparat terhadap kebebasan pers yang masih terus terjadi.
“Itu potret kekerasan yang terus dilakukan aparat — baik polisi, TNI, maupun elemen negara lainnya,” ujar Raditya dalam orasinya.
Sebagai anggota Pewarta Foto Indonesia (PFI), ia menegaskan bahwa kekerasan terhadap jurnalis merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 18 ayat (1) yang melindungi kerja jurnalistik dari segala bentuk kekerasan dan intimidasi.
Di tengah kerumunan, Raditya menyerukan semangat perlawanan atas represi terhadap media.
“Sore ini hanya ada satu kata: lawan! Lawan intimidasi, hidup jurnalis!” teriaknya lantang.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Aris Mulyawan, juga menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi kebebasan pers di wilayah Jawa Tengah.
“Jawa Tengah dalam keadaan darurat kebebasan pers. Kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat, bukan hanya kepada jurnalis profesional, tetapi juga terhadap rekan-rekan pers mahasiswa,” kata Aris.
Menurutnya, meningkatnya intimidasi terhadap pers menjadi tanda kemunduran demokrasi.
“Ketika kebebasan berpendapat dan akademik dibungkam, maka demokrasi telah mati,” tegasnya.
Sebagai simbol perlawanan, para peserta aksi menyalakan dupa di atas replika makam bertuliskan “RIP Demokrasi”, sambil menaburkan bunga sebagai lambang duka atas matinya nilai-nilai demokrasi.
Dukungan terhadap aksi juga datang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang. Dalam orasinya, pengacara publik Fajar Muhammad Andhika menegaskan bahwa jurnalis adalah pilar keempat demokrasi.
“Jika aparat negara bersikap represif terhadap jurnalis, itu pertanda demokrasi kita berada dalam bayang-bayang otoritarianisme,” ujarnya.
Aksi Kamisan yang berlangsung damai tersebut ditutup sekitar pukul 18.30 WIB dengan pembacaan tuntutan oleh Sekretaris Jenderal AJI Semarang, Iwan Arifianto.
Dalam tuntutannya, massa mendesak kepolisian untuk menindak tegas pelaku kekerasan terhadap jurnalis serta menjamin perlindungan terhadap kebebasan pers di Indonesia. []
Nur Quratul Nabila A