Rusia Klaim Ukraina Luncurkan 500 Drone dan HIMARS Saat Menjelang Gencatan Senjata

MOSKOW – Kementerian Pertahanan Rusia melaporkan bahwa lebih dari 500 pesawat nirawak (drone), termasuk dua unit Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi (HIMARS), diluncurkan oleh Ukraina dalam serangan udara skala besar ke wilayah Federasi Rusia. Pernyataan tersebut disampaikan pada Kamis (8/5/2025) melalui kantor berita RT.
Serangan ini juga disertai lima rudal berpemandu jarak jauh tipe R-360 Neptune dan enam bom udara berpemandu presisi JDAM, yang seluruhnya diklaim berhasil dicegat oleh sistem pertahanan udara Rusia.
Juru bicara Kementerian Pertahanan menyatakan bahwa langkah tersebut merupakan bentuk balasan terhadap eskalasi agresi militer Ukraina di tengah momentum gencatan senjata yang dicanangkan Moskow.
Presiden Rusia Vladimir Putin sebelumnya telah mengumumkan rencana gencatan senjata kemanusiaan selama tiga hari, dimulai pada tengah malam 7–8 Mei hingga 10–11 Mei 2025, sebagai bentuk penghormatan terhadap peringatan 80 tahun kemenangan Uni Soviet atas Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Gencatan senjata ini disebut Kremlin sebagai peluang untuk memulai kembali dialog damai dengan Kyiv tanpa prasyarat.
Namun demikian, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menolak inisiatif tersebut. Dalam pernyataannya, Zelensky menyebut tawaran Rusia itu sebagai “upaya manipulasi” yang tidak mencerminkan itikad baik.
Sementara itu, juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menuding bahwa keputusan Ukraina meningkatkan serangan udara selama periode menjelang gencatan senjata mencerminkan “esensi rezim Kyiv yang cenderung pada aksi terorisme.”
Menurut Rodion Miroshnik, pejabat Kementerian Luar Negeri Rusia yang menangani investigasi kejahatan perang, dalam sepekan terakhir sedikitnya 15 warga sipil tewas dan 142 lainnya luka-luka akibat serangan drone Ukraina.
Ia menyebut jumlah tersebut sebagai angka korban sipil tertinggi sejak awal tahun.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak Ukraina terkait klaim Rusia tersebut. Situasi di lapangan masih terus berkembang, sementara dunia internasional menyerukan kedua pihak untuk menahan diri dan kembali ke meja perundingan. []
Nur Quratul Nabila A