Afghanistan Tak Diundang ke COP30, Taliban Soroti Ketidakadilan Iklim
JAKARTA – Pemerintah Taliban menyatakan kekecewaannya atas keputusan komunitas internasional yang tidak mengundang Afghanistan untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim COP30 di Brasil. Padahal, Afghanistan dikenal sebagai salah satu negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim ekstrem.
Melalui pernyataan resmi Badan Perlindungan Lingkungan Nasional Afghanistan (NEPA), pihak otoritas menyebut langkah tersebut sebagai bentuk ketidakadilan terhadap rakyat Afghanistan.
“Afghanistan merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, namun sayangnya belum menerima undangan resmi ke COP30,” tulis NEPA dalam pernyataannya, dikutip AFP, Senin (10/11/2025).
Taliban menilai bahwa keterisolasian diplomatik akibat belum diakuinya pemerintahan mereka oleh sebagian besar negara dunia tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengecualikan Afghanistan dari perundingan global terkait isu iklim. “Pengecualian hak rakyat Afghanistan untuk berpartisipasi dalam konferensi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan iklim, kerja sama global, dan solidaritas kemanusiaan,” tegas NEPA.
Sebelumnya, pada COP29 tahun lalu di Azerbaijan, perwakilan Taliban diizinkan hadir hanya sebagai “tamu” dari tuan rumah, bukan sebagai delegasi resmi yang dapat ikut menentukan arah kebijakan global mengenai lingkungan.
Taliban menilai sikap dunia terhadap mereka justru memperburuk upaya mitigasi krisis iklim di Afghanistan. Negara tersebut menghadapi kekeringan berulang, penurunan muka air tanah hingga 30 meter, serta penurunan signifikan hasil pertanian yang menjadi tumpuan hidup sekitar 89% penduduknya, menurut data PBB.
Afghanistan sendiri hanya menyumbang sekitar 0,06% dari total emisi gas rumah kaca global, namun menanggung dampak iklim paling ekstrem. Ketergantungan besar terhadap pertanian dan kurangnya infrastruktur adaptasi membuat masyarakat di pedesaan menjadi korban langsung perubahan cuaca ekstrem, kekeringan, dan kelaparan.
Otoritas Taliban menekankan bahwa persoalan perubahan iklim seharusnya dipisahkan dari politik pengakuan pemerintahan. Mereka menyerukan agar negara-negara peserta COP30 menempatkan solidaritas kemanusiaan di atas kepentingan diplomatik.
Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan tahun 2025 sebagai salah satu tahun terpanas dalam sejarah, dengan tekanan besar terhadap negara-negara beriklim kering seperti Afghanistan. Para ilmuwan memperingatkan, jika tidak ada bantuan internasional untuk memperkuat ketahanan iklim di kawasan itu, jutaan warga Afghanistan akan menghadapi ancaman kelaparan dan migrasi paksa.
Meskipun Taliban masih menghadapi isolasi politik internasional, isu iklim menempatkan Afghanistan dalam posisi paradoks: negara yang minim kontribusi terhadap krisis global, tetapi menjadi salah satu korban paling berat. Absennya Afghanistan dalam forum seperti COP30 menimbulkan pertanyaan besar tentang apakah keadilan iklim benar-benar dapat ditegakkan tanpa inklusivitas politik. []
Siti Sholehah.
