Aliansi Baru, Dilema Lama: Saudi dan Pakistan

Pengumuman pakta pertahanan antara Arab Saudi dan Pakistan baru-baru ini langsung mengundang perhatian global. Media internasional, termasuk Aljazeera, bahkan menyebutnya sebagai “watershed” atau titik balik yang bisa mengubah konfigurasi keamanan di Asia Selatan, Teluk, hingga Asia Tengah. Namun, di balik sorotan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah perjanjian ini sekadar langkah pragmatis dua negara, atau benar-benar akan membentuk arsitektur keamanan baru di tengah perubahan tatanan global?
Sejarah panjang aliansi militer mengajarkan bahwa setiap kesepakatan membawa paradoks. Ia menawarkan perlindungan, tetapi sekaligus membatasi otonomi. Ia memperkuat posisi negara, tetapi juga menimbulkan kecurigaan dari pihak lain. Dalam konteks ini, pakta Saudi–Pakistan tidak dapat dilepaskan dari pengalaman negara lain.
Contoh nyata adalah Mesir pada masa Gamal Abdel Nasser. Karena ditolak Washington, Kairo kemudian merapat ke Moskow. Uni Soviet membangun Bendungan Aswan dan memasok senjata, tetapi hubungan itu runtuh setelah Perang Enam Hari 1967. Anwar Sadat lalu mengalihkan orientasi ke Amerika Serikat. Aliansi tersebut membuktikan bahwa pakta militer seringkali bersifat sementara, lebih ditentukan oleh kalkulasi kepentingan ketimbang komitmen ideologis.
Pengalaman lain datang dari Turki yang bergabung dengan NATO pada 1952. Bergabungnya Ankara memberikan jaminan keamanan kolektif, tetapi memaksa Turki menyesuaikan diri dengan agenda Barat. Ketegangan masih terjadi hingga kini, misalnya ketika Ankara membeli sistem rudal S-400 dari Rusia. Dari sini terlihat bahwa jaminan keamanan bisa berarti kehilangan fleksibilitas dalam menentukan kebijakan luar negeri.
Saudi dan Pakistan kini berada dalam dilema yang sama. Riyadh ingin mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat yang dinilai goyah pasca krisis Gaza dan tarik-ulur normalisasi dengan Israel. Pakistan membutuhkan energi dan dana segar untuk keluar dari tekanan ekonomi serta isolasi strategis. Kepentingan saling melengkapi membuat pakta ini tampak logis. Namun, konsekuensinya tidak kecil: Pakistan berpotensi terseret lebih jauh dalam rivalitas Saudi–Iran, sedangkan Riyadh berisiko ikut dalam pusaran konflik Asia Selatan, termasuk ketegangan India–Pakistan yang tak pernah benar-benar reda.
Tidak hanya itu, aliansi ini juga memunculkan kalkulasi baru bagi aktor global lain. India tentu akan meningkatkan kewaspadaan, Iran membaca langkah ini sebagai ancaman, Amerika Serikat merasa pengaruhnya berkurang, sementara Tiongkok bisa menilai apakah kesepakatan ini mengganggu proyek Belt and Road.
Singkatnya, pakta pertahanan Saudi–Pakistan adalah cerminan dari kegelisahan dunia multipolar saat ini. Aliansi baru mudah terbentuk, tetapi juga rawan retak jika fondasinya hanya didasarkan pada rasa takut dan kebutuhan sesaat. Tantangannya adalah apakah kedua negara mampu mengubah kepentingan pragmatis menjadi visi bersama. Jika gagal, pakta ini hanya akan menjadi catatan singkat dalam sejarah, bukan tonggak abadi dalam arsitektur keamanan global. []
Siti Sholehah