Ancaman Tambang Ilegal Kian Nyata, 3 Hektare Hutan Pendidikan Unmul Rusak Parah

SAMARINDA – Aktivitas tambang ilegal kembali menjadi ancaman serius bagi Hutan Pendidikan Universitas Mulawarman (Unmul) di Samarinda, Kalimantan Timur.
Selama masa libur Lebaran 2025, sekitar 3,2 hektare kawasan hutan dilaporkan rusak akibat kegiatan penambangan tanpa izin yang dilakukan secara diam-diam.
Menanggapi peristiwa tersebut, Guru Besar Hukum Universitas Mulawarman, Prof. Muhammad Muhdar, menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi tidak bisa disederhanakan sebagai pelanggaran administratif semata.
Ia menegaskan, tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum yang berat dan harus segera ditindak tegas oleh aparat penegak hukum.
“Ini bukan soal administratif. Tidak perlu berdebat panjang karena kegiatan tambang ilegal itu jelas melanggar hukum. Yang diperlukan sekarang adalah penegakan hukum, bukan lagi diskusi,” tegas Prof. Muhdar, Selasa (8/4/2025).
Menurutnya, setidaknya terdapat tiga undang-undang yang dilanggar dalam kasus ini, yakni Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba), Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang Kehutanan.
Ia menambahkan bahwa tanggung jawab hukum tidak hanya terletak pada pelaku di lapangan, tetapi juga pada seluruh pihak yang terlibat dalam rantai aktivitas ilegal ini.
“Bukan hanya operator alat berat atau penambang yang harus bertanggung jawab, tapi juga pemodal, penyedia bahan bakar, pembeli batu bara, hingga aparat yang mengetahui namun tidak bertindak,” katanya.
Hutan Pendidikan Unmul dikenal sebagai salah satu kawasan hutan pendidikan terbesar di Indonesia dengan luas mencapai 59.000 hektare. Kawasan ini berfungsi sebagai laboratorium alam untuk mahasiswa, peneliti, dan akademisi di bidang kehutanan dan lingkungan hidup.
Kerusakan terhadap kawasan tersebut tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga mengganggu kelangsungan pendidikan dan riset ilmiah.
“Kerugiannya sangat besar. Ketika objek-objek pengetahuan seperti flora, fauna, siklus air, hingga fungsi penyerapan karbon rusak, maka seluruh proses pendidikan ikut terdampak,” jelasnya.
Prof. Muhdar juga mengkritik lambannya respons dari otoritas berwenang.
Ia mengungkapkan bahwa laporan mengenai tambang ilegal ini telah disampaikan ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) sejak 2024, namun hingga kini belum ada langkah hukum nyata yang diambil.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan sanksi administratif dalam kasus tambang ilegal, karena tidak ada izin yang bisa dicabut. Yang perlu dilakukan adalah penegakan hukum pidana dan gugatan perdata, termasuk menghitung valuasi ekonomi kerusakan lingkungan,” tegasnya.
Ia pun menyarankan agar pelaporan tak hanya terbatas ke Gakkum, tetapi juga dilanjutkan ke kepolisian sebagai jalur hukum lain yang sah.
“Tidak ada salahnya melaporkan ke dua jalur, yakni KLHK dan Polri, agar kasus ini mendapatkan perhatian serius dari negara,” tutupnya. []
Nur Quratul Nabila A