API Laporkan PT WKM, Desak Kejagung Tuntaskan Kasus Tambang Ilegal Halmahera

JAKARTA — Desakan kepada pemerintah pusat untuk bertindak tegas terhadap praktik pertambangan nikel ilegal di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, semakin menguat.
Lembaga swadaya masyarakat hingga senator daerah meminta Presiden Prabowo Subianto mengambil alih langsung penanganan krisis lingkungan dan hukum yang membelit sektor tambang di wilayah tersebut.
Langkah nyata akan diambil oleh Anatomi Pertambangan Indonesia (API) yang berencana menyambangi Kejaksaan Agung pekan depan untuk melaporkan dugaan pelanggaran oleh salah satu perusahaan tambang, PT WKM, yang diduga terlibat dalam praktik pertambangan nikel ilegal.
“Kita akan berkunjung ke Kejaksaan Agung untuk meminta agar kasus PT WKM bisa diselesaikan, bisa dituntaskan,” ujar Direktur Eksekutif API, Riyanda Barmawi, dalam keterangannya kepada awak media di Jakarta Pusat, Jumat (27/6/2025) malam.
Riyanda menjelaskan bahwa dalam kunjungan sebelumnya ke Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, dirinya telah menyampaikan aspirasi masyarakat yang khawatir atas potensi kerugian negara akibat kebocoran pendapatan dari sektor tambang ilegal.
“Yang dapat menyebabkan kebocoran keuangan negara. Yang bisa menyebabkan kerugian negara. Itu pesan dari Jaksa Agung,” tegasnya.
Pihaknya juga memastikan bahwa seluruh dokumen penting dan bukti-bukti yang relevan tengah dikumpulkan untuk diserahkan langsung ke Kejaksaan Agung.
“Dalam waktu dekat mungkin kita bisa kunjungi di hari Senin depan atau hari Selasa. Kami akan kumpulkan dulu dokumen-dokumen penting yang bisa menjadi barang bukti,” kata Riyanda.
Sementara itu, suara kritis juga datang dari wakil daerah. Anggota DPD RI asal Maluku Utara, Hasby Yusuf, secara terang-terangan menyampaikan keprihatinannya atas kerusakan lingkungan yang masif di Halmahera Timur.
“Saya memberikan pesan Presiden Prabowo harus turun tangan. Nggak bisa berharap kepada menteri, nggak bisa berharap kepada dirjen, nggak bisa berharap kepada kepala daerah, nggak bisa,” tegas Hasby.
Menurutnya, kerusakan ekologis dan stagnasi penegakan hukum telah mencapai titik krisis. Ia menilai bahwa penanganan persoalan tambang ilegal sudah tidak bisa lagi diserahkan ke level teknis semata.
“Presiden harus mengambil alih tanggung jawab politik ini. Misalnya, perbaikan tambang tidak bisa lagi diberikan tanggung jawab kepada gubernur atau beberapa menteri,” ujar Hasby.
Lebih jauh, Hasby menegaskan bahwa inisiatif penertiban tambang ilegal harus menjadi bagian dari “desk politik baru” yang memandu arah kebijakan pertambangan nasional.
“Harus mengambil ini sebagai sebuah langkah politik baru untuk roadmap tambang Indonesia, tambang kita. Agar betul-betul untuk kepentingan masyarakat,” tandasnya.
Ia menutup pernyataan dengan nada getir.
“Maluku Utara ini mau mengadu kemana? Kami punya nikel, kami punya tambang. Tapi kami nggak punya apa-apa, nggak dapat apa-apa. Yang kita dapat kerugian, dapat rusaknya lingkungan hidup dan penyakit.” []
Nur Quratul Nabila A