Bahlil Lahadalia dan Transisi Kepemimpinan di Partai Golkar

JAKARTA – Pernyataan Ketua Umum DPP Partai Golkar Bahlil Lahadalia tentang “generasi baru Golkar” bukan sekadar slogan politik. Ucapan yang berulang kali disampaikannya dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I Partai Golkar 2025 itu mencerminkan sebuah klaim perubahan arah kepemimpinan dan budaya politik di tubuh partai berlambang beringin tersebut.

Penekanan berulang atas frasa “generasi baru” menandai kesadaran bahwa Golkar tengah berada pada fase transisi penting. Dalam konteks politik Indonesia, transisi ini tidak hanya berkaitan dengan pergantian figur, tetapi juga dengan perubahan cara berpikir, gaya kepemimpinan, serta hubungan antara elite partai dan basis sosialnya. Klaim Bahlil bahwa setiap zaman memiliki pemimpinnya sendiri menjadi kerangka dasar narasi ini.

Terpilihnya Bahlil Lahadalia secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar dalam Munas XI tahun 2024 menjadi simbol peralihan tersebut. Ia hadir sebagai figur yang berbeda dari tipologi pemimpin Golkar generasi sebelumnya yang cenderung lahir dari elite mapan dan jaringan kekuasaan lama. Bahlil justru membawa narasi mobilitas sosial: perjalanan hidup dari latar belakang sederhana menuju puncak kepemimpinan partai politik besar.

Dalam lanskap politik nasional yang kerap diwarnai dominasi “warisan politik”, posisi Bahlil menjadi signifikan. Karier politiknya dibangun melalui proses panjang, bukan melalui garis keturunan. Pengalaman hidup sebagai pedagang kecil, sopir angkutan umum, hingga aktivis mahasiswa membentuk cara pandangnya terhadap kekuasaan. Kepemimpinan, dalam kerangka ini, dipahami sebagai hasil perjuangan dan pengabdian, bukan hak istimewa.

Aspek aktivisme mahasiswa juga menjadi elemen penting dalam membentuk karakter generasi baru Golkar. Bahlil dan sejumlah pengurus inti partai merupakan produk era reformasi—sebuah masa ketika kritik terhadap kekuasaan, tuntutan demokratisasi, dan keberpihakan pada rakyat menjadi wacana dominan. Pengalaman tersebut tercermin dalam gaya kepemimpinan yang lebih terbuka terhadap perbedaan dan perubahan.

Komposisi kepengurusan DPP Partai Golkar saat ini memperkuat kesan tersebut. Masuknya figur-figur seperti Muhammad Sarmuji, Ahmad Doli Kurnia, Ace Hasan Syadzili, hingga Mukhamad Misbakhun menunjukkan hadirnya generasi yang relatif sebaya secara pengalaman politik. Mereka tumbuh dalam iklim transisi, berproses dari bawah, dan memahami dinamika politik modern yang menuntut kecepatan serta adaptasi.

Implikasi dari kepemimpinan generasi baru ini setidaknya terlihat dalam empat arah utama pembangunan partai. Pertama, penguatan demokrasi internal. Proses pengambilan keputusan dan regenerasi kepemimpinan diupayakan lebih terbuka dan partisipatif. Kedua, kaderisasi ditempatkan sebagai prioritas strategis, bukan sekadar formalitas struktural.

Ketiga, terbukanya kesempatan politik bagi kader muda Golkar. Kehadiran Bahlil menjadi simbol bahwa jalur karier politik di partai tidak tersumbat oleh oligarki keluarga. Keempat, karakter teknokratik Golkar tetap dipertahankan, namun dengan penekanan baru pada keberpihakan sosial. Meritokrasi tidak berdiri sendiri, melainkan dipadukan dengan sensitivitas terhadap realitas rakyat.

Dalam konteks yang lebih luas, perubahan ini menandai upaya Golkar untuk merebut kembali relevansi politiknya. Kepemimpinan tidak lagi diposisikan sebagai simbol kejayaan masa lalu, melainkan sebagai alat untuk membaca dan merespons kebutuhan zaman. Bahlil, dalam hal ini, bukan sekadar figur individual, tetapi representasi arah baru yang sedang diuji oleh waktu dan praktik politik itu sendiri. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *