Bantul Rawan Gempa dan Tsunami, BPBD Soroti Keterbatasan Sistem Peringatan Dini

BANTUL — Kabupaten Bantul merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang tergolong rawan gempa bumi.
Secara geografis, daerah ini terletak di antara dua sumber utama gempa, yakni Sesar Opak di daratan serta zona megathrust di pertemuan Lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang membentang di selatan Pulau Jawa.
Kombinasi keduanya menjadikan Bantul berada dalam zona risiko tinggi terhadap bencana alam, termasuk potensi tsunami.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul, Agus Yuli Herwanta, menjelaskan bahwa kedua sumber gempa tersebut memiliki kemungkinan saling memicu.
Terlebih lagi, aktivitas seismik yang bersumber dari laut tidak hanya berpotensi menyebabkan gempa bumi tetapi juga tsunami dengan ketinggian yang dapat mencapai puluhan meter.
“Hingga saat ini, gempa dan tsunami belum bisa dicegah. Karena itu, fokus utama kita adalah kesiapsiagaan dan mitigasi di semua lapisan masyarakat,” ujar Agus saat ditemui pada Selasa (27/5/2025).
Langkah-langkah mitigasi bencana terus dilakukan, salah satunya melalui program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) dan Gerakan Siap Warga Tangguh Bencana (SITATANG).
BPBD bersama sejumlah pemangku kepentingan juga gencar menyelenggarakan sosialisasi, pelatihan, serta simulasi gempa dan tsunami, baik di lingkungan sekolah, komunitas lokal, hingga perguruan tinggi.
Menurut data BPBD, gempa kecil di Bantul terjadi hampir setiap hari, dengan magnitudo berkisar antara 1 hingga 2, yang tidak dirasakan oleh masyarakat. Namun, gempa yang mulai dirasakan biasanya terjadi di atas magnitudo 4, dengan kedalaman sekitar 10 kilometer.
Salah satu gempa merusak terakhir terjadi pada Juni 2023, yang menyebabkan retaknya beberapa bangunan rumah warga.
Namun demikian, Agus menyampaikan bahwa keterbatasan sistem peringatan dini atau early warning system (EWS) masih menjadi tantangan utama.
Saat ini, Bantul hanya memiliki 29 unit EWS tsunami yang dipasang di wilayah pesisir. Padahal, berdasarkan hasil kajian BPBD, kebutuhan ideal untuk wilayah tersebut mencapai minimal 70 unit.
“Dengan cakupan pantai yang luas dan potensi tsunami yang tinggi, kami menilai jumlah EWS yang ada saat ini belum cukup untuk memberikan peringatan dini yang efektif kepada masyarakat,” tegas Agus.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya bangunan tahan gempa juga mengalami peningkatan, terutama pasca-gempa besar pada 2006 yang menelan ribuan korban jiwa.
Kini, lebih banyak rumah dibangun dengan mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk konstruksi tahan gempa, menggunakan struktur semen yang kokoh serta ikatan antartitik bangunan yang lebih kuat.
Sugiyem, salah seorang warga yang rumahnya hancur dalam gempa 2006, mengenang peristiwa itu dengan pilu.
“Dulu rumah saya roboh. Orang tua saya luka berat, dan akhirnya meninggal dua tahun kemudian karena komplikasi,” tuturnya.
Peringatan tahunan terhadap bencana gempa di Bantul seharusnya menjadi momen refleksi bersama. Pemerintah daerah menekankan bahwa upaya kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana tidak bisa hanya diserahkan kepada instansi resmi.
Diperlukan keterlibatan aktif masyarakat dalam memahami risiko, membangun ketahanan keluarga, dan mengikuti program mitigasi yang tersedia. []
Nur Quratul Nabila A