BBT Ungkap 100 Hektare Tanah Negara Dikuasai Oknum di Poso

POSO — Kasus penguasaan lahan negara oleh mafia tanah di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, mengemuka setelah Badan Bank Tanah (BBT) melakukan proses inventarisasi atas tanah eks hak guna usaha (HGU).
Temuan ini mengindikasikan bahwa praktik mafia tanah telah menjadi persoalan serius di wilayah tersebut.
Mahendra Wahyu, Team Leader Project Poso dari Badan Bank Tanah, menyampaikan bahwa dari hasil penelusuran di lapangan, sebagian besar tanah eks HGU telah dikuasai dan diperjualbelikan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang.
“Kali pertama saya ke Poso, ternyata 90 persen tanah eks HGU ini sudah diperjualbelikan oleh mafia tanah,” ungkap Mahendra.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa terdapat oknum yang mengklaim kepemilikan hingga lebih dari 100 hektare tanah milik negara.
Ia menilai fenomena ini sebagai bentuk pelanggaran hukum yang tidak boleh dibiarkan.
“Tapi, saya meyakini lembaga negara tidak boleh kalah oleh oknum-oknum mafia tanah,” tegasnya.
Bahkan, menurut Mahendra, mafia tanah tersebut menjadi aktor intelektual di balik gerakan penolakan terhadap proses pengembalian lahan ke negara.
Mereka juga terlibat dalam tindakan-tindakan provokatif seperti pencabutan patok batas tanah.
“Oknum mafia tanah ini terus berupaya memperluas gerakannya, bahkan sempat terjadi upaya pencabutan patok,” ujarnya.
Saat ini, kasus tersebut tengah dalam penanganan aparat penegak hukum di wilayah Poso. BBT bekerja sama dengan otoritas lokal guna menertibkan kembali kepemilikan lahan dan memastikan tanah negara dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
Sementara itu, Jarot Wahyu Wibowo, Sekretaris Badan Bank Tanah, menyoroti pentingnya pengembalian lahan eks HGU untuk mendukung sektor pertanian, khususnya perkebunan kakao di Sulawesi Tengah.
“Sulteng merupakan lumbung kakao Indonesia. Dari 641 ribu ton produksi nasional, sekitar 146 ribu ton berasal dari Sulteng,” jelas Jarot.
Namun demikian, ia menilai produktivitas kakao masih menghadapi banyak kendala di tingkat petani, mulai dari kekurangan lahan, keterbatasan bibit unggul, hingga permasalahan pemasaran.
“Masalahnya kekurangan lahan, bibit, dan pemasarannya. Itu belanja masalahnya dari petani,” katanya.
Oleh karena itu, BBT menyiapkan lahan dari tanah negara yang sebelumnya berstatus HGU untuk mendukung pengembangan sektor kakao.
Tidak hanya itu, pihaknya juga telah menyusun master plan guna memastikan pengelolaan lahan dilakukan secara terarah.
“Jadi lahan disiapkan dari eks HGU yang sudah habis masanya,” terang Jarot.
Langkah ini diharapkan tidak hanya mengatasi konflik agraria, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi daerah melalui sektor perkebunan yang berkelanjutan dan berbasis petani. []
Nur Quratul Nabila A