Belanda Guncang Politik: Menlu Caspar Veldkamp Mundur karena Kebijakan Israel

DEN HAAG — Menteri Luar Negeri Belanda, Caspar Veldkamp, resmi mengundurkan diri pada Jumat (22/8/2025) waktu setempat setelah rapat kabinet gagal mencapai kesepakatan terkait sanksi baru terhadap Israel.
Keputusan itu sekaligus mengguncang stabilitas politik negeri kincir angin, karena partai politik yang menaunginya, New Social Contract Party, juga menarik diri dari koalisi pemerintahan.
Veldkamp sebelumnya dikenal vokal dalam mendesak langkah tegas terhadap Israel. Pada Kamis (21/8/2025), ia secara terbuka menyuarakan perlunya kebijakan tambahan untuk merespons tindakan militer Israel di Gaza yang dinilainya “menggunakan taktik tangan besi” terhadap Hamas.
Namun, gagasan tersebut berulang kali kandas dalam rapat kabinet.
“Saya merasa terkekang dalam menetapkan arah yang saya anggap perlu sebagai menteri luar negeri,” ujar Veldkamp kepada kantor berita ANP.
Ia menegaskan bahwa usulannya telah dibahas secara serius, namun tidak mendapat dukungan penuh dari rekan-rekan kabinet.
Langkah Veldkamp ini menambah daftar panjang krisis politik Belanda. Perdana Menteri Dick Schoof menyampaikan penyesalannya atas pengunduran diri sang menteri serta keluarnya New Social Contract Party dari koalisi.
Padahal, partai tersebut merupakan kekuatan politik terbesar keempat di parlemen.
“Situasi di Gaza memburuk dan dramatis. Semua orang menyadari hal itu,” kata Schoof di hadapan parlemen, seraya menekankan bahwa pemerintah tetap berupaya mencari jalur diplomasi.
Belanda sendiri telah mengambil beberapa sikap keras sebelumnya, termasuk menyatakan dua menteri sayap kanan Israel, Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, sebagai persona non grata.
Negara itu juga bergabung dengan 21 negara lain dalam menolak proyek permukiman baru Israel di Tepi Barat yang dinilai bertentangan dengan hukum internasional.
Tekanan publik dalam negeri turut memengaruhi dinamika politik ini. Aksi demonstrasi besar di Den Haag pada akhir pekan lalu diikuti hingga 150.000 orang, terbesar dalam dua dekade terakhir.
Para pengunjuk rasa menuntut sanksi lebih tegas terhadap Israel serta akses kemanusiaan bagi warga sipil Gaza.
Situasi semakin genting setelah pada Jumat (22/8), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menyatakan bahwa Gaza menghadapi bencana kelaparan, dengan menyalahkan adanya “penghambatan sistematis” terhadap bantuan kemanusiaan oleh Israel. []
Nur Quratul Nabila A