Bermasker Saat Ditahan KPK, DPR dan KPK Beda Pandangan

JAKARTA — Penampilan tersangka korupsi di hadapan publik kembali menjadi sorotan, kali ini terkait tren penggunaan masker oleh para tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat konferensi pers.

Dalam enam bulan terakhir, dari 29 tersangka yang ditampilkan, hanya lima orang yang tampak tanpa penutup wajah. Sisanya mengenakan masker, bahkan sebagian menambahkan topi.

Tren ini memicu perdebatan di ruang publik, terutama menyangkut transparansi, rasa keadilan, hingga perlindungan hak asasi manusia.

Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menegaskan bahwa saat ini belum terdapat aturan yang melarang tahanan menutup wajah mereka saat ditampilkan ke publik.

“Kalau menutup wajah, pakai kacamata, dan sebagainya, memang belum ada larangan. Belum ada aturan yang mengatur,” ujarnya di Jakarta Utara, Kamis (10/7/2025).

Menurut Tanak, jika publik menghendaki aturan tersebut, maka perlu ada inisiatif hukum untuk mengaturnya melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sedang dibahas di DPR.

“Kalau kita bertindak tanpa aturan, kita akan keliru juga,” tambahnya.

Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan lembaganya tengah membahas mekanisme yang lebih jelas soal tampilan tahanan.

“KPK akan menyusun pengaturan atau mekanismenya, dan menjadi pedoman bagi seluruh pihak-pihak terkait, khususnya tahanan yang dilakukan pemeriksaan,” ujar Budi, Jumat (11/7/2025).

Di sisi lain, sejumlah anggota DPR RI dari Komisi III justru menilai penampilan tahanan, termasuk penggunaan masker, tidak perlu diatur secara kaku. Anggota Komisi III DPR RI, Soedeson Tandra, menilai bahwa menampilkan tersangka di depan publik justru berisiko mencederai asas praduga tak bersalah.

“Kalau dia belum terpidana, baru tersangka, jangan lah [diekspose]. Karena dia itu ada anak, ada istri, ada keluarga,” ujar politikus Partai Golkar itu. Ia juga menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia berlaku bagi siapapun, termasuk bagi tersangka kejahatan.

Soedeson menyebut ekspos tersangka sebelum ada putusan hukum dapat memicu “trial by opinion”. Ia menegaskan bahwa seharusnya rasa malu bukan dikonstruksi melalui tayangan publik, melainkan melalui proses hukum yang adil dan bermartabat.

Anggota Komisi III lainnya, Rusdi Kirana, juga menilai bahwa penampilan tersangka — dengan atau tanpa masker — bukan hal prinsip yang perlu dituangkan ke dalam undang-undang.

“Kalau memang sudah tersangka, toh itu risiko yang harus diambil,” ujarnya.

Namun ia menambahkan, bila publik memandang penting, aturan bisa dibahas lebih lanjut tanpa membesar-besarkan persoalan teknis.

Perdebatan ini mencerminkan ketegangan antara tuntutan publik untuk transparansi dan kebutuhan untuk melindungi martabat hukum setiap warga negara. Ketiadaan aturan baku memberi ruang bagi interpretasi beragam, namun juga menimbulkan pertanyaan soal konsistensi dan etika kelembagaan.

Sejumlah ahli hukum dan aktivis hak asasi menilai, perlu adanya kebijakan yang menjamin hak tahanan namun tetap menghormati prinsip keterbukaan informasi publik. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *