BGN Akui Kejanggalan di Balik Keracunan Massal MBG di Kupang

JAKARTA – Insiden keracunan massal yang menimpa ratusan pelajar di Nusa Tenggara Timur (NTT) setelah mengonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali membuka sorotan terhadap sistem pelaksanaan program bantuan pangan yang dikelola pemerintah.
Kali ini, Badan Gizi Nasional (BGN) berada di tengah badai kritik, setelah ratusan siswa dari berbagai tingkatan sekolah jatuh sakit usai menyantap makanan yang seharusnya menunjang kesehatan mereka.
Staf Khusus Kepala BGN bidang Komunikasi, Redy Hendra Gunawan, dalam pernyataan virtual pada Selasa (29/7/2025), menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada seluruh pihak yang terdampak.
“Kami mewakili BGN menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada para siswa, kepada orang tua, kepada pihak-pihak yang terdampak atas kejadian dan insiden yang terjadi di NTT,” ujar Hendra.
Namun, permintaan maaf ini belum cukup meredakan pertanyaan publik mengenai mekanisme pengawasan dan standar pelaksanaan program MBG yang sudah digulirkan ke jutaan penerima manfaat di seluruh Indonesia.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban awal, BGN telah menghentikan operasional Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di wilayah terdampak.
“BGN tidak menoleransi kelalaian dalam hal pengelolaan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi yang tentu akan sangat berbahaya bagi kesehatan penerima manfaat,” tegas Hendra.
Sebagai tambahan langkah penanganan, BGN menyatakan komitmennya untuk menanggung seluruh biaya pengobatan korban.
Hingga berita ini diturunkan, jumlah korban keracunan tercatat sebanyak 130 orang di berbagai jenjang pendidikan, termasuk siswa SMP Negeri 8 Kota Kupang, SD Negeri Tenau, dan SMA Negeri 1 Taebenu di Kabupaten Kupang. Kejadian serupa juga terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, yang melibatkan 75 siswa SMA dan SMK.
Para korban kini dirawat di sejumlah fasilitas kesehatan seperti RS Karitas Waitabula, RSUD Reda Bolo, dan Puskesmas Radamata. Seluruh kasus kini telah ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) oleh otoritas setempat.
Hendra menjelaskan, proses logistik dan penyimpanan makanan MBG sebenarnya telah mengikuti standar prosedur, meski diakui kondisi cuaca panas ekstrem di Kupang menjadi tantangan tersendiri.
“Keterlibatan pihak sekolah dalam pengawasan MBG juga telah dilakukan sesuai prosedur,” ujarnya.
Meski begitu, banyak pihak mendesak agar investigasi lebih dalam dilakukan, terutama menyangkut kualitas bahan makanan, SOP pengelolaan dapur, dan rantai distribusi MBG di daerah dengan infrastruktur minim.
“Saat ini kami sedang menunggu hasil investigasi, memang ada beberapa kejanggalan, sehingga kami belum bisa menyampaikan hasil investigasi tersebut. Hasil investigasi tersebut akan segera kami sampaikan ketika laporan dari laboratorium sudah kami terima,” ungkap Hendra.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT, Darius Beda Daton, yang meninjau langsung korban di RSUD Kupang, turut mendesak evaluasi menyeluruh dan supervisi ketat terhadap pelaksanaan MBG.
Ia menekankan pentingnya akuntabilitas lembaga penyedia makanan agar kejadian serupa tak terulang di wilayah lain.
Kasus ini menjadi tamparan keras terhadap kredibilitas program MBG yang telah menjangkau lebih dari 6,3 juta orang di Indonesia.
Jika tidak dibarengi penguatan pengawasan dan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksana program, maka niat baik pemerintah dalam menyediakan makanan sehat bisa berubah menjadi bencana kesehatan massal. []
Nur Quratul Nabila A