Cerita Tragis Korban Keganasan Predator Karangan
KUTAI TIMUR – Sebuah cerita pilu dan menggegerkan datang dari Desa Karangan Seberang, Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Seorang anak berusia lima tahun bernama Andry Lukman bernasib tragis setelah dimangsa kawanan buaya di Sungai Karangan.
Adalah Karsini (36), warga Desa Karangan Seberang. Ia terus menangis, terpukul karena jasad putera tercintanya, Andry Lukman (5 tahun), tak kunjung ditemukan. Sang ayah, Sutrisno (38 tahun), pun demikian. Mereka sempat tak makan dua hari karena merasakan duka mendalam.
Pencarian jasad Andry, korban serangan buaya di Desa Karangan Seberang, Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur yang terjadi hari Jumat (20/3/2015) lalu, akhirnya tuntas Kamis (26/3/2015) dini hari.
Warga yang sejak beberapa hari memburu buaya pemangsa menemukan jasad Andry ada pada perut buaya ketujuh, yang panjangnya sekitar 3 meter dan lebarnya sekitar 80 centimeter. Adapun enam buaya yang sebelumnya dibelah, nihil temuan.
Suryatmojo, paman korban, saat dihubungi TribunKaltim.co, Kamis (26/3/2015) pagi, mengatakan dirinya dan keluarga sedang melaksanakan prosesi pemakaman jasad Andry. Keluarga sudah mulai tenang saat jenazah Andry dimasukkan ke liang kubur, diiringi do’a mendalam.
Sejak awal keluarga dan masyarakat sekitar terus memburu buaya untuk menemukan keberadaan jasad Andry. “Tujuannya agar jenazah bisa dimakamkan secara layak,” katanya.
Dua hari pertama, Jumat dan Sabtu (20/21/3/2015), warga melakukan upaya swadaya. Mulai dari menyisir sungai menggunakan ketinting untuk menemukan jasad korban, hingga berupaya memancing dan menjerat buaya. Namun upaya tersebut nihil.
Di sela upaya, warga mendengar ada tiga orang warga Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, yang bersedia membantu memburu buaya.
***
Kedua orang tua Andry Lukman (5 tahun), korban serangan buaya di Desa Karangan Seberang, Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur, mengaku tidak memiliki firasat khusus menjelang kepergian buah hatinya.
Paman korban, Suryatmojo, Kamis (26/3/2015) malam, mengatakan, saat berkumpul bersama keluarga di masa pencarian jasad Andry, kedua orang tuanya mengatakan tidak mempunyai firasat khusus. Keduanya, Karsini dan Sutrisno, pun merasakan duka mendalam atas tragedi tersebut. (Baca juga: Jasad Andry Ditemukan di Perut Buaya Ketujuh)
Namun menjelang peristiwa itu, Andry tampak lebih manja pada neneknya. “Andry sering tidur di rumah neneknya. Namun pagi jelang kejadian, ia menjadi lebih manja. Bangun tidur sudah minta dipeluk neneknya,” katanya.
Suryatmojo pun mengaku memiliki firasat khusus. “Saya kehilangan tiga benda dalam waktu yang berdekatan. Yaitu sandal, rokok dengan koreknya, serta helm. Saya juga sempat mimpi es krim kesukaan Andry ada di dalam kulkas saya,” katanya.
Sang paman menuturkan bahwa dalam kesehariannya, Andry merupakan anak yang ceria. “Dia ceria, walaupun sedikit pendiam. Dia baik sama teman-temannya dan sangat senang binatang,” katanya.
Andry merupakan anak yang sangat dicintai keluarganya. Hal itu pula yang mendorong keluarga untuk semaksimal mungkin mencari jasadnya agar bisa dikebumikan secara Islam.
“Awalnya warga sekitar yang mencari sendiri. Namun belakangan ada warga yang kenal dengan pemburu buaya yang tinggal di Bulungan. Saat dihubungi, mereka sedang berada di Tanjung Redep, Berau. Karena itu langsung dijemput,” katanya.
***
“Monster Sangatta.” Istilah ini sering disematkan warga Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur kepada buaya yang menerkam dan memangsa manusia.
Setiap kali ada buaya memangsa orang, warga biasanya menggunakan jasa pawang buaya untuk menemukan binatang buas si pemangsa agar dapat menemukan jasad korbannya.
Yusran salah satunya, telah teruji berkali-kali menangkap buaya. Ia pernah menjinakkan buaya sepanjang lima meter seberat 400 kilogram. Warga Kelurahan Guntung, Kota Bontang, Kalimantan Timur itu sudah 18 kali melumpuhkan buaya.
“Kami dapat informasi dari paman Anto bahwa ada yang lebih dekat dan lebih baik. Karena itu kami minta tolong bantuannya. Tidak perlu jauh-jauh ke Sangatta,” ujar kakek Anto Abdul Fatah saat ditemui TribunKaltim.co di kediaman keluarga Anto, Desa Santan Ilir, Kecamatan Marangkayu, Kukar, dalam satu kesepatan.
Awalnya keluarga Anto akan memanggil pawang yang menaklukkan ‘Monster Sangatta’. Pawang yang menggantikan pawang ‘Monster Sangatta’ itu bernama Yusran. Saat ditemui usai Salat Ghaib, pria berusia 66 tahun ini mengaku sebagai korban keganasan buaya, termasuk buaya di Sungai Santan. Yusran yang menggunakan peci haji dan sorban melingkar di lehernya menceritakan, dulu anak kandungnya pernah menjadi korban buaya Guntung.
“Saat itu saya naikkan 27 buaya untuk mencari pelaku sesungguhnya dan alhamdulillah berhasil,” ujar Yusran. Korban keganasan Sungai Santan, 2007 lalu tak lain adalah cucu Yusran. Ia menduga buaya yang memangsa Anto adalah buaya yang pernah memangsa cucunya. (Baca juga: Jasad Andry Bertahan Seminggu di Perut Monster, Warga Belah 7 Buaya)
Yusran mengaku telah menurunkan satu butir telor ayam kampung, pinang dan daun siri dan tembakau ke Sungai Santan. Ritual itu dilakukan untuk menghormati roh-roh pendahulu yang menghuni daerah sekitar Sungai Santan. “Ini dulu ajaran kedewaan untuk menghormati pendahulu kita,” katanya.
***
Dua ekor buaya “raksasa” dari Sangatta, Kalimantan Timur sering dipamerkan. Tahun lalu, misalnya, kedua ekor buaya yang telah diawetkan itu dibawa ke arena pameran Sei Makaham di Bentara Budaya Jakarta, tanggal 7 sampai 16 November 2014.
Kedua ekor buaya muara monster Sangatta ini menggegerkan masyarakat Kaltim pada tahun 1996 karena telah memangsa dua manusia di dua tempat terpisah hanya dalam selisih waktu satu bulan.
Lalu penduduk memburu dan membunuh kedua buaya ini untuk mengeluarkan potongan tubuh korban yang tertinggal di dalam perutnya.
Buaya pertama yang memangsa Ny Hairani (35) ditangkap pada 8 Maret 1996 di sungai Kenyamukan, Kecamatan Sangatta (kini masuk wilayah Kabupaten Kutai Timur). Buaya ini berkelamin jantan berusia sekitar 70 tahun. Panjangnya sekitar 6,6 meter, berat 350 kg dan lingkar perut 1,8 meter.
Informasi yang diperoleh Tribun Kaltim dari beberapa warga Kenyamukan, saat kejadian, korban sedang mencuci beras dan peralatan dapur di tepi sungai. Tak lama kemudian, buaya mengibasnya. Setelah terjatuh ke sungai, korban langsung diseret.
“Buaya berhasil ditemukan setelah warga menggunakan bom ikan di tempat yang diduga menjadi lokasi keberadaan buaya. Setelah itu buaya langsung ditembak. Setelah perutnya dibelah oleh salah satu dokter Puskesmas Sangatta Selatan, ditemukanlah jasad korban di dalamnya,” kata warga, Nazaruddin Hafid.
Sementara buaya kedua yang memangsa seorang pria bernama Baddu (40) di Tanjung Limau, Kecamatan Muara Badak, di Kabupaten Kutai Kartanegara, ditangkap pada 10 April 1996. Buaya berkelamin betina ini memiliki panjang 5,5 meter, berat 200 kg dengan lingkar perut sekitar 1 meter.
Setelah itu, kedua buaya yang dijuluki “monster dari Sangatta” tersebut diawetkan dan dipajang di Museum Kayu Tuah Himba, Kota Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara.
Selain kedua buaya tersebut, masih ada jasad seekor buaya besar yang diawetkan warga. Saat ini jasad buaya masih berada di sekitar Mapolsek Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur. Buaya tersebut memangsa Sahar, warga Desa Takat, Kecamatan Sandaran, tanggal 15 Maret 2010 lalu.
Kepada Tribun, Paman Sahar, Aminuddin, dan Bahtiar, teman Sahar, yang menjadi saksi tragedi itu menceritakan tali pengikat kapal Sahar tersangkut, sehingga kapalnya miring lalu tenggelam.
Bahtiar langsung menyelam ke sungai untuk melepas tali. Sedangkan Sahar menyusul terjun. Setelah Bahtiar muncul ke permukaan, air di sekitarnya sudah bercampur darah dan Sahar sudah tidak ada. Seorang bocah, Rijal, yang melihat dari dermaga mengatakan Sahar dilibas dengan ekor buaya sehingga terlempar. Setelah itu buaya menyambar dengan mulutnya, lalu masuk dalam sungai.
Peristiwa ini hanya berlangsung beberapa detik. Tak lama kemudian, warga dan aparat langsung menyisir sungai. Lewat tengah hari, mereka menemukan buaya tersebut di anak sungai. Sniper TNI AL lantas menembaknya 10 kali. Setelah mati, buaya dibawa ke daratan dan dibelah untuk mengeluarkan jasad Sahar.
Selama di Takat, Tribun mendengar banyak warga yang mempercayai faktor mitos sebagai alasan buaya memangsa manusia. Terutama tentang “kepuhunan”, bersumpah sembarangan, juga pelanggaran terhadap beberapa pantangan.
Tentang mitos kepuhunan, Sahar dianggap warga mengalaminya. Ceritanya, ia sangat ingin makan pulut (ketan yang dimakan dengan kelapa.red). Keluarga pun membuatkannya. Namun saat ia ingin makan ternyata sudah habis. Tak lama kemudian, ia turun ke sungai dan terjadilah peristiwa itu.
Ada lagi sumber yang menyatakan Sahar sempat sesumbar saat melihat pertandingan sepakbola antara Desa Susuk dan Sangkulirang beberapa pekan lalu. Susuk biasanya selalu menang. Hingga Sahar menyatakan, rela dimakan buaya bila Susuk kalah. Saat itu tanpa diduga Susuk kalah 5-0. Cerita sumpah semacam ini juga pernah terjadi di Desa Wono.
Warga juga bercerita tentang firasat. Semalam sebelum kejadian, Sahar tampak murung, padahal rekan-rekannya sedang berkumpul membakar ikan. Tidak biasanya ia hanya bicara bila diajak bicara. Ia juga biasa bangun tidur di atas pukul 09.00. Entah mengapa pagi itu ia bangun sekitar pukul 07.00. [] TbK