Dari Hulu Mahakam, Sinduru Gemakan Kritik Lewat Tari

ADVERTORIAL — Malam kurasi Road to East Borneo International Folklore Festival (EBIFF) 2025 di Simpang Odah Etam, Tenggarong, tidak hanya menjadi panggung seleksi, tetapi juga ruang ekspresi sosial yang kuat. Di antara deretan penampilan sanggar tari, kemunculan Sanggar Seni Sinduru Indonesia dari Kecamatan Muara Wis mencuri perhatian dengan pertunjukan yang berbeda dari yang lain.

Mengangkat tarian berjudul Mak Juja, sanggar ini menyuguhkan kritik sosial tentang budaya adu domba dan provokasi yang sering mencederai harmoni sosial masyarakat. Melalui koreografi simbolik dan ekspresi tubuh yang kuat, pertunjukan ini menghadirkan perenungan mendalam bagi penonton.

“Mak Juja itu istilah orang tua zaman dulu. Biasanya digunakan untuk menyindir seseorang yang suka membuat keributan, merusak keharmonisan,” jelas pelatih sanggar, Fitra, seusai penampilan pada Sabtu malam (07/06/2025).

Fitra mengungkapkan bahwa karya tersebut telah dikembangkan cukup lama dan sebelumnya telah dipentaskan dalam ajang nasional. “Kami bersyukur, tahun lalu tarian ini bisa tampil di ajang nasional. Saat itu kami difasilitasi langsung oleh Dinas Pariwisata,” terangnya, merujuk pada partisipasi mereka dalam Internasional Mask Festival di Solo, Jawa Tengah.

Namun, perjalanan ke panggung kurasi EBIFF tahun ini tidak tanpa kendala. Bertepatan dengan hari kedua Idulfitri, sebagian anggota sanggar tidak dapat tampil. “Beberapa tidak bisa hadir karena ada acara keluarga, jadi kami maksimalkan dengan lima orang,” ujar Fitra. Meski hanya tampil dengan setengah kekuatan formasi, pesan yang disampaikan tetap kuat dan tidak kehilangan daya pukau.

Lebih lanjut, Fitra memuji sistem audisi terbuka yang diterapkan panitia EBIFF 2025. Ia menilai kebijakan ini membuka ruang yang lebih adil bagi sanggar-sanggar dari wilayah pedalaman. “Kalau dulu, seolah-olah yang mewakili sudah ditentukan. Tapi sekarang lebih terbuka. Semua sanggar, baik dari kota maupun pelosok, punya peluang yang sama,” ucapnya.

Apresiasi pun datang dari Kepala Bidang Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata Kukar, Zikri Umulda, yang turut hadir dan menjadi juri pada malam itu. Menurutnya, Mak Juja bukan sekadar pertunjukan artistik, melainkan refleksi sosial yang menyentuh. “Tarian ini unik, bukan hanya menggugah secara artistik, tetapi juga menyampaikan pesan moral yang relevan. Ini bukti bahwa seni bisa menjadi alat komunikasi sosial yang efektif,” katanya.

Zikri menegaskan pentingnya pelibatan komunitas seni dari seluruh kecamatan, termasuk dari kawasan hulu. “Kami sangat terbuka untuk semua komunitas. Justru keberagaman dari hulu inilah yang memperkaya kekayaan budaya Kukar,” imbuhnya.

Ia juga menyoroti perlunya distribusi informasi yang lebih merata. “Kukar punya 20 kecamatan. Potensi seninya luar biasa, hanya perlu dibuka akses dan diberi kesempatan,” tutupnya.

Dengan dedikasi serta keberanian dalam mengangkat isu-isu sosial melalui seni tari, Sanggar Sinduru membuktikan bahwa talenta dari wilayah perhuluan pun mampu bersaing dan tampil memukau, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.[]

Penulis: Suryono | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *