Demo DPR Ricuh, 196 Anak di Bawah Umur Diamankan

JAKARTA — Kericuhan aksi unjuk rasa di sekitar Gedung DPR RI pada Senin (25/8/2025) menyisakan catatan serius, terutama soal keterlibatan ratusan anak di bawah umur.

Dari 351 orang yang diamankan Polda Metro Jaya, 196 di antaranya tercatat masih berstatus pelajar.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, menegaskan kepolisian berkomitmen melindungi masyarakat yang ingin menyampaikan pendapat.

Namun, situasi berubah saat sekelompok orang di luar massa aksi melakukan tindakan anarkis.

“Komitmen Bapak Kapolda Metro Jaya jelas, setiap masyarakat yang ingin menyampaikan pendapat akan kami layani dan amankan. Namun ada pihak lain di luar massa penyampai pendapat yang justru melakukan perusakan dan penyerangan,” ujar Ade Ary, Selasa (26/8/2025).

Pihak kepolisian mencatat adanya kerusakan fasilitas umum, mulai dari separator busway, pagar depan DPR, hingga pelemparan kendaraan di jalan tol. Aparat juga sempat diserang.

Ade Ary menjelaskan, Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Pol Susatyo, yang memimpin pengamanan di lapangan telah mengedepankan pendekatan persuasif sebelum akhirnya melakukan penertiban.

Dari hasil pemeriksaan, tujuh orang dewasa dinyatakan positif narkoba—enam terkait sabu dan satu benzoat. Kasus ini ditangani Direktorat Narkoba.

Sementara itu, ratusan anak yang diamankan ternyata berasal dari berbagai daerah penyangga Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor, hingga Sukabumi. Mereka diduga hadir akibat ajakan melalui media sosial.

“Kami imbau orang tua lebih mengawasi anak-anaknya agar tidak mudah terprovokasi ajakan-ajakan di medsos. Aksi unjuk rasa bukan tempat bagi pelajar,” tegas Ade Ary.

Ia memastikan seluruh anak yang ditahan telah dipulangkan ke orang tua masing-masing.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sylvana Maria, menilai jumlah anak yang terlibat sangat memprihatinkan.

“Jumlahnya cukup besar, ada 196 anak. Mereka sebagian besar ikut karena ajakan teman atau media sosial, tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ini tentu merampas waktu belajar dan masa depan mereka,” jelas Sylvana.

Ia menegaskan perlunya penyelidikan akar masalah keterlibatan anak dalam aksi massa.

Sylvana juga mengajak semua pihak memberikan ruang aman bagi anak dalam menyalurkan aspirasi.

“Kami berharap anak-anak bisa menyalurkan aspirasi dengan cara yang benar, di keluarga, di sekolah, atau forum resmi yang sesuai. Mereka harus belajar menyampaikan pendapat secara positif dan konstruktif, bukan ikut-ikutan dalam aksi yang berisiko,” ujarnya.

Fenomena ini sekaligus membuka peringatan baru bagi orang tua, sekolah, hingga pemerintah, bahwa media sosial dapat dengan cepat memobilisasi anak-anak dalam kegiatan yang berpotensi membahayakan diri mereka. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *