Dera Korupsi Proyek Gang Indra
Polder dibangun untuk mengatasi banjir. Banjir tak hilang justru korupsi yang datang. Polder Gang Indra yang menghabiskan Rp 43,2 miliar, adalah salah satu polder yang bermasalah. Beberapa orang sudah jadi tersangka koruptor.
Letaknya di Gang Indra, Jalan Pangeran Antasari, Kelurahan Air Putih, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda, itu sebabnya polder atau kolam penampungan air buatan ini disebut Polder Gang Indra.
Polder tersebut dibangun sejak tahun 2004 dan terhenti 2007, meskipun belum rampung dan tak bisa berfungsi optimal. Sementara duit dari kas Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda yang sudah terkuras sedikitnya Rp 42,2 miliar.
Mengapa polder ini harus dibuat? Para pengambil kebijakan, baik di lingkungan Pemkot Samarinda, maupun di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim), berpandangan, keberadaan polder sangat perlu untuk mengatasi persoalan banjir yang menerpa Samarinda, ibu kota provinsi.
Wal hasil, ada empat polder yang dibangun di Samarinda, dari total jumlah ideal sebanyak 30 polder atau dari total yang diusulkan 20 polder. Mengapa tidak semua dibangun? Itu karena untuk membangun satu polder saja, dibutuhkan anggaran sekitar Rp 50 miliar. Jika 20 polder, berarti butuh Rp 1 triliun. Sangat menguras anggaran.
Polder akhirnya dibangun bertahap. Tahun 2004, Pemprov Kaltim dan Pemkot Samarinda sepakat sharing membangun polder. Untuk Polder Air Hitam dan Gang Indra dikerjakan oleh pemkot, sementara untuk Polder Voorvo dan Gunung Lingai oleh pemprov.
Dari tiga polder yang telah dibangun, ternyata hanya satu polder yang berfungsi dan memberikan dampak terkuranginya banjir di kawasan Jalan Juanda dan Jalan Abdul Wahab Syahrani di Kelurahan Air Hitam, Samarinda Ulu. Sedang tiga polder lainnya, yakni Polder Gang Indra, Voorvo dan Gunung Lingai, tak berfungsi.
Khusus Polder Gang Indra, tujuan awalnya untuk mengurangi banjir di kawasan Jalan Pangeran Antasari, Cendana, dan Banggeris. Rencana pembangunannya bakal memakan lahan seluas sekitar 4 hektare. Pembangunan dan pembebasan lahan lalu dilakukan dua tahap. Tahap pertama, 2004, 7.003 meter persegi dibebaskan.
Tahap kedua, dimulai tahun 2007, proyek mandek tahun 2008, bukan karena rampung atau kekurangan anggaran, tapi lantaran terkendala soal pembebasan lahan. Masalah terjadi pasca dibebaskannya lahan seluas 1,2 hektare yang menghabiskan duit Rp 1,7 miliar lebih. Lahan seluas 3.333 meter persegi dari yang sudah dibebaskan, ternyata diklaim milik orang lain.
Tahun 2009, persoalan memuncak dan beralih ke persoalan hukum. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim sempat turun tangan untuk mengusut dugaan korupsi di dalamnya, tapi gagal menemukan indikasi penyimpangan keuangan negara. Meski begitu, Norsiah, yang mengklaim pemilik lahan asli, melaporkan ke pihak Kepolisian Resor (Polres) Samarinda.
Norsiah ternyata bukan ‘orang sembarangan’, suaminya, Najamudin merupakan mantan kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sebab itu, laporan ke polisi sukses mengurai masalah. Biangkerok sengketa berhasil diungkap, yakni Ardian dan M. Fadli. Keduanya adalah mantan Ketua Rukun Tetangga (RT) yang terindikasi memalsukan dokumen yang menyebabkan Pemkot Samarinda membayarkan uang ke bukan pemilik lahan yang sah.
Tahun 2011, proses penyidikan kasus pemalsuan dinyatakan lengkap alias P21 oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda, hingga dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Samarinda. Dalam proses peradilan, Ardian, mantan Ketua RT 09, divonis bersalah melanggar Pasal 263 dan Pasal 266 Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut pengakuan Ardian, lahan yang dibebaskan Pemkot Samarinda adalah milik Zainudin. Namun ternyata Zainudin telah lama meninggal karena stroke. Berdasarkan konfirmasi keluarga Zainudin, tidak diakui kalau yang bersangkutan memiliki lahan. Ardian di pengadilan sempat membantah tuduhan pemalsuan surat dan mengklaim telah diproses sesuai prosedur. Namun akhirnya, ia divonis 14 bulan penjara.
Berbeda bagi M. Fadli, mantan Ketua RT 06. Nasibnya lebih beruntung, konon perkaranya mandek di tengah jalan. Berkasnya sempat bolak balik dari kepolisian dan kejaksaan. Berkasnya berkali-kali dinyatakan tak lengkap atau P19 oleh pihak Kejari Samarinda. Namun sejumlah sumber media ini ada yang mengungkap bahwa berkas tersebut sebenarnya sudah P21 di kejaksaan, tapi tak kunjung dilimpahkan ke pengadilan.
Meski demikian, peradilan perkara Ardian justru menjadi pintu masuk bagi penyidik Kejari Samarinda untuk mengungkap adanya indikasi perkara korupsi pada proyek Polder Gang Indra, terutama pada proses pembebasan lahannya. Tindaklanjut penyidik Kejari tersebut berdasarkan temuan penyidikan kepolisian yang menyebutkan bahwa ada dugaan delik penyertaan kerugian keuangan negara.
Tahun 2013, penyidik Kejari mulai menyigi. Pada Juli 2014, perkaranya naik status jadi penyidikan, seorang yang dinilai bertanggungjawab atas pembebasan tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Ia adalah Busrani, mantan Kepala Sub Bagian Keagrariaan Bagian Perkotaan Sekretaris Kota (Sekkot) Samarinda periode 1998–2008.
Proses penyidikan ternyata tak mudah, faktanya, setelah setahun lebih berjalan, perkara belum juga dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). September (6/9/2015) lalu, pihak Kejari justru baru merilis tersangka baru. Jumlahnya ada enam orang, mereka adalah penerima uang haram hasil pembebasan. Inisial Zn disebut menerima uang sebesar Rp 370 juta, Sl menerima Rp 204 juta, Ar sebesar Rp 526 juta, Ir sebesar Rp 65 juta, Ad sebesar Rp 370 juta, dan Su sebesar Rp 82 juta.
Humas Kejari Samarinda, Hamsah Ponong menerangkan, keenam orang tersebut masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Selain itu, pihak Korps Adhayaksa juga tengah menanti pendapat saksi ahli dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengenai prosedur pertanahan dalam perkara itu.
“Kendalanya di sini, orangnya sudah tak jelas ada di mana. Hanya satu orang yang kami ketahui, tapi dia sudah wafat,” kata Hamsah.
Sementara, terseretnya nama Busrani lantaran ia disangka tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya. Dia diduga tak mengadakan survei dan meneliti status hukum atas tanah yang akan dilepas masyarakat. Akibatnya pada kegiatan tahap satu (2004) terjadi penggelembungan luas tanah yang dibayar kepada salah seorang pemilik lahan. Tanah tersebut milik almarhum Suryansyah.
Semula, tanahnya hanya seluas 5.106 meter persegi. Namun, dalam hasil pengukuran tanah tersebut membengkak menjadi 7.003 meter persegi. Kelebihan tanah seluas 1.897 meter persegi pun tak diakui ahli waris. Kemudian dalam daftar penerima ganti rugi kelebihan tanah itu dipecah Busrani menjadi dua nama. Tanah seluas 1.897 meter persegi tersebut dibuat atas nama ahli waris Suryansyah.
Selain itu, Busrani tak melakukan tugasnya pada 2007, yakni pengerjaan tahap dua, Pemkot Samarinda salah bayar. Ganti rugi diberikan kepada para pemilik tanah yang tak berhak. Itu dikarenakan Busrani percaya dengan surat tanah palsu yang ditandatangani Ketua RT 09 Adrian alias Atung dan Ketua RT 06 M. Fadli.
Perbuatan Busrani ditengarai menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 1,798 miliar. Perinciannya, Rp 189,7 juta akibat penggelembungan luas lahan yang dibebaskan dan Rp 1,601 miliar dari salah bayar.
KANDAS DI KEJATI
Sebelum ditangani Kejari Samarinda, dalam materi berbeda dengan objek yang sama, Polder Gang Indra, penyidik Kejati Kaltim pernah turun tangan. Bahkan perkaranya sempat naik ke level penyidikan, walau akhirnya pada Mei 2011 pihak Kejati menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas perkara tersebut.
Perkara korupsi yang disidik pihak Kejati Kaltim sebenarnya sempat menjadi perhatian publik. Sejumlah elemen masyarakat bahkan sempat turun ke jalan, menggelar unjuk rasa untuk menuntut pengusutan kasus tersebut. Seperti pada 22 Maret 2010, elemen mahasiswa menggelar unjuk rasa di Kejati Kaltim.
Mereka menuntut agar kasus yang mencuat tahun 2007 itu diusut tuntas. Proyek Polder Air Hitam senilai Rp 62 miliar itu disinyalir dikerjakan mendahului proses penganggaran dan tanpa melalui proses lelang. Namun, sejauh ini tindak lanjut penanganan kasus tersebut tidak jelas
Saat itu, pengadaan lahan itu ditengarai menyalahi prosedur. Pasalnya, pengadaan dilakukan tahun 2004, sementara pembayaran direalisasikan pada 2006. Mestinya pembayaran lahan tersebut dilakukan pada tahun anggaran perjalan. Mengenai dugaan terjadinya markup atau penggelembungan harga pengadaan lahan itu, didalami Kejati setelah proses dinaikkan ke tahap penyidikan Februari 2011.
Penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Kaltim sempat telah meminta keterangan sejumlah saksi. Di antaranya, mantan Wali Kota Samarinda Achmad Amins dan pengusaha Hery Susanto alias Abun. Pengusaha tersebut turut jadi saksi, karena diketahui meminjamkan uang Rp 5 miliar kepada Pemkot untuk Polder Gang Indra dan Polder Air Hitam.
Ketika menghadiri panggilan Kejati pada 17 April 2011, Amins mengakui, ada pinjaman Pemkot sebesar Rp 5 miliar dari Abun. Menurutnya, pinjaman pemkot tersebut diproyeksikan untuk proyek Polder Air Hitam. Namun, ia tidak tahu kenapa sebagian pinjaman itu digunakan untuk Polder Gang Indra.
NASIB MIRIS
Lalu bagaimana keadaan Polder Gang Indra? Lantaran tersandung permasalahan hukum, proses pembangunannya jadi macet. Polder tersebut kini bahkan hanya jadi tempat warga memelihara ikan mas, nila dan patin dengan keramba. Kondisinya pun tak terawat, mulai dari sedimentasi hingga berkembangnya eceng gondok. Bahkan, saluran air menuju sungai pun sudah tersumbat.
Menurut Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP) Samarinda Hero Mardanus didampingi Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian Banjir Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP) Samarinda, Desi Damayanti, tak ada dana untuk pemeliharaan polder yang sudah dibangun tersebut. Sementara, untuk pemeliharaannya, diperkirakan memakan biaya Rp 2 miliar.
Sementara Nusyirwan Ismail, Wakil Wali Kota Samarinda, mengatakan, Polder Gang Indra bakal dibenahi. Sebab, tak bisa berfungsi 100 persen. Nusyirwan mengakui, selama ini realisasi fisik polder terhambat lantaran ada perkara hukum di lahan tersebut. Ia menuturkan, seandainya perkara itu diklarifikasi Kejaksaan Negeri, pekerjaan fisik bisa dilanjutkan di bagian tertentu.
“Tergantung bagaimana klarifikasi hukumnya. Apakah bisa dilanjutkan pembangunan fisiknya sementara kasus lahan tetap berjalan, atau bagaimana? Kami tak menutupi kasus itu,” kata dia, September lalu.
Andai kata pendapat hukum memperbolehkan, pembangunan segera dilanjutkan karena Polder Gang Indra merupakan prioritas aspirasi masyarakat. Mengenai tak ada anggaran perawatan, dia berharap biaya perawatan hingga petugasnya bila memang diperlukan, dilengkapi semua. “Itu kerja terpadu untuk prioritas pengendalian banjir untuk tahun depan,” beber dia.
Terpisah, Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Samarinda Abdul Muis Ali menjelaskan, antara perkara hukum dan pekerjaan fisik merupakan dua hal berbeda. Jadi, bisa saja bila melanjutkan pembangunan di sana.
Lebih dalam Muis menerangkan, pada fakta perkara tersebut, pemkot telah melakukan pembayaran pembebasan lahan tapi tak tepat sasaran sehingga menjadi masalah. “Barang sudah beralih haknya ke pemkot sehingga bisa membangun. Sementara salah bayar itu yang masuk ranah pidana,” urai dia.
Menurut Muis, perkara hukum tak memengaruhi kendati tak menutupi perkara hukum di sana. Kata dia, yang bertanggung jawab dalam kasus itu adalah pemkot dan penerima duit. “Sehingga pemkot berupaya menarik kembali uang dan menyerahkan ke pihak yang benar. Sementara tanggung jawab penerima adalah mengembalikan uangnya,” jelas dia.
Sementara Mursyid Abdul Rasyid, anggota Komisi III DPRD Samarinda berpendapat bahwa pihak Pemkot Samarinda memang harus mengambil langkah strategis agar polder tersebut tak sia-sia dibangun, karena sudah menguras anggaran cukup besar. Langkah strategis itu adalah agar polder berfungsi optimal untuk mengurangi banjir di sekitar kawasan itu.
Memang menurutnya, sebagian lahan masih bermasalah dan sedang diproses oleh penegak hukum. Agar bisa berfungsi dan puluhan miliaran tidak sia-sia kata dia, setidaknya Pemkot Samarinda bisa memperdalam salah satu bagian polder disisi lahan yang tidak bermasalah. “Yang bermasalah jangan diganggu, biarlah dulu diproses hukum,” katanya.
Kondisi saat ini kata Mursyid, sesuai pemaparan instansi terkait didapati bahwa polder belum bisa berfungsi dikarenakan belum adanya saluran pembuangan ke sungai-sungai terdekat. Harus diakui kata Mursyid, perencanaan awal pembangunan polder tersebut amburadul.
Agar berfungsi maksimal, instasi terkait sudah mengajukan anggaran lagi Rp 26 miliar. Anggaran itu akan digunakan antara lain untuk pembuatan saluran pembuangan air dari polder dengan mengeruk Sungai Manggis hingga Sungai Mahakam (sebelah SPBU Karang Asam), rumah pompa, dana yang diajukan tidak tanggung-tanggung yakni mencapai Rp 26 miliar. “Mereka ajukan sekitar Rp. 26 miliar lagi,” kata Mursyid.
Sementara Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan (DBMP) Samarinda Hero Mardanus didampingi Kasi Pengelolaan dan Penyediaan Air Baku DBMP Samarinda, Rosmayadi Novida ketika mendampingi inspeksi mendadak (sidak) panitia khusus (pansus) Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) akhir masa jabatan Walikota Samarinda 2010-2015 belum lama ini mengatakan, agar berfungsi maksimal memang perlu dibangun saluran baru sebagai pembuangan air dari polder ke Sungai Mahakam.
Selain saluran, tepat di pembuangan ke Sungai Mahakam (sebelah SPBU) Karang Asam akan dibangun rumah pompa yang bisa ditutup untuk mencegah air masuk ketika sungai pasang. “Kita memang masih butuh dana sekitar Rp 20-an miliar. Jadi Sungai Manggis itu kita dalamkan, jadi air dari polder dibuang ke sana,” katanya. []