Di Balik Layar Media Sosial, Ancaman Psikologis Mengintai Remaja
JAKARTA – Media sosial tidak lagi sekadar menjadi sarana komunikasi bagi generasi muda, melainkan telah menjelma sebagai ruang hidup kedua yang membentuk cara berpikir, menilai diri, dan memandang dunia. Kehadirannya memang membawa kemudahan akses informasi dan memperluas jejaring sosial, namun di balik manfaat tersebut tersimpan risiko besar yang kini semakin nyata: krisis kesehatan mental di kalangan anak muda.
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2025 menunjukkan bahwa hampir separuh pengguna internet nasional berasal dari kelompok usia muda. Generasi Z berkontribusi sebesar 25,54 persen, sementara Generasi Alpha mencapai 23,19 persen. Angka ini menandakan bahwa ruang digital telah menjadi arena utama pembentukan identitas, relasi sosial, dan ekspresi diri generasi penerus bangsa.
Namun, dominasi tersebut beriringan dengan lonjakan persoalan psikologis. BPJS Kesehatan mencatat 2,97 juta kasus gangguan kesehatan mental sepanjang 2024 yang dipicu tekanan dari media sosial. Temuan ini sejalan dengan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebut satu dari tujuh remaja usia 10–19 tahun di dunia mengalami masalah kesehatan mental. Studi di Inggris bahkan menegaskan bahwa penggunaan media sosial lebih dari tiga jam per hari meningkatkan risiko gangguan psikologis, terutama akibat distorsi citra diri dan perundungan siber.
Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial bukan ruang netral. Ia bekerja melalui algoritma yang membentuk persepsi tentang kesuksesan, kebahagiaan, dan penerimaan sosial. Dalam konteks ini, teori dramaturgi Erving Goffman menjadi relevan. Setiap individu tampil sebagai aktor dengan “diri depan panggung” yang ditampilkan secara ideal di hadapan publik, sementara “diri panggung belakang” yang penuh keterbatasan disembunyikan dari layar.
Masalah muncul ketika generasi muda gagal menyadari batas antara dua realitas tersebut. Mereka membandingkan kehidupan nyata mereka dengan potret sempurna yang disajikan orang lain di media sosial. Pertanyaan seperti, “Mengapa hidupku tidak semenarik hidupnya?” atau “Mengapa aku tidak bisa sebahagia mereka?” pun menjadi bisikan yang terus berulang, perlahan mengikis kepercayaan diri dan menumbuhkan rasa tidak berharga.
Tekanan tersebut diperparah oleh budaya flexing dan konsumsi simbolik yang masif. Remaja dari latar belakang ekonomi sederhana menghadapi kecemasan status sejak dini, seolah nilai diri ditentukan oleh tampilan digital. Pada titik tertentu, media sosial tidak lagi menjadi sarana ekspresi, melainkan alat validasi yang menjerat penggunanya.
Di sisi lain, perundungan siber menjadi ancaman nyata yang kerap luput dari pengawasan. Anonimitas dunia maya membuat empati memudar. Cyberbullying berlangsung tanpa batas ruang dan waktu, menembus wilayah privat remaja. Luka yang ditinggalkan tidak bersifat sementara, melainkan membekas dalam jejak digital yang sulit dihapus.
Kondisi ini mencerminkan “Online Disinhibition Effect”, di mana individu merasa bebas melukai orang lain tanpa konsekuensi langsung. Bagi remaja yang identitasnya masih rapuh, serangan verbal semacam ini dapat memicu depresi, kecemasan sosial berat, hingga keinginan mengakhiri hidup.
Situasi tersebut menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar tanggung jawab individu. Negara, orang tua, institusi pendidikan, dan platform digital memikul peran penting dalam menciptakan ekosistem daring yang lebih aman. Literasi etika digital, pendampingan orang tua, serta regulasi tegas—seperti pembatasan usia pengguna media sosial—perlu dipertimbangkan secara serius.
Pada akhirnya, tantangan terbesar adalah mengembalikan kendali kepada manusia, bukan algoritma. Media sosial seharusnya menjadi alat yang memperkaya kehidupan, bukan sumber tekanan yang merusak kesehatan jiwa. Sebab, tidak ada jumlah “suka” atau pengikut yang sebanding dengan satu nyawa remaja yang dapat diselamatkan. []
Siti Sholehah.
