Di Balik Mundurnya ‘Sang Maestro’
Belum lagi berakhir masa jabatan, Isran berhenti dari posisi Bupati Kutim. Alasannya tak jelas dan keputusannya menuai kontroversi. Benarkah untuk memuluskan pencalonan sang istri?
SEMATAN gelar Sang Maestro pantas diberikan kepada Isran Noor, seorang politikus dari Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur (Kaltim, yang namanya ‘menggebrak’ antero nusantara. Ia beberapa kali melakukan manuver kontroversial yang cukup menggoyang opini publik nasional.
Di masa demam pencalonan Pemilihan Presiden (Pilpres), pria kelahiran Sangkulirang, Sangkulirang, 20 September 1957 silam ini sempat berusaha masuk menjadi kandidat dari Partai Demokrat. Bahkan setelah tak lolos di konvensi partai, Isran Noor menggelar konvensi rakyat. Ia tampak menggebu menjadi calon presiden maupun wakil, meski akhirnya merapat di kubu Jokowi Dodo-Jusuf Kalla.
Pada masa utak atik Kabinet Kerja, nama Isran Noor yang bernaung di bawah perahu partai politik ‘berlambang Merci’ itu juga sempat menguat di posisi menteri. Konon, gagalnya dia menjadi pembantu Presiden Joko Widodo karena namanya mendapat stabilo merah dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat itu dikomandani Abraham Somad.
Karir Isran Noor sebenarnya berawal dari birokrasi dan berakhir sejak dia dilirik Awang Faroek Ishak—sekarang menjabat Gubernur Kaltim—untuk mendampinginya pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kutim yang digelar 12 Desember 2005 silam. Saat itu, alasan Awang memilih Isran karena ia sosok yang jenius dan loyal.
Hasil menggandeng Isran rupanya cukup mendongkrak suara, terbukti dari kemenangan pasangan Awang Faroek-Isran Noor saat itu yang mendapat 66.190 suara. Setelah dinyatakan sebagai resmi dinyatakan menang, keduanya dilantik pada 13 Februari 2006.
Pada 2008, Awang Faroek turut bertarung di arena Pemilihan Gubernur Kaltim dan ia berhasil menang dan dilantik 17 Desember 2008. Kutim yang selama proses Pilgub Kaltim ditinggal bupati definitifnya Awang Faroek, diisi Wakil Bupati Isran Noor sebagai pejabat pelaksana tugas Bupati. Pada 4 Februari 2009, ia baru resmi dilantik jadi bupati definitif. Sebuah keberuntungan bagi Isran Noor.
Memasuki Pilkada Kutim 2010, Isran Noor kembali mencoba jadi Bupati di periode kedua kalinya, berpasangan Ardiansyah Sulaiman, politisi dari Partai Keadilan Sejahtera. Pada pemilihan 27 November 2010, Isran-Ardiansyah akhirnya berhasil mengalahkan enam pasangan calon lain dengan memperoleh 59.418 suara.
Setelah melalui masa sanggah hingga disidang di Mahkamah Konstitusi, Isran-Ardiansyah tetap dinyatakan sebagai pemenang Pilkada. Keduanya dilantik pada 13 Februari 2011. Itu artnya, Isran-Ardiansyah baru habis masa jabatannya pada 13 Februari 2016 mendatang.
Namun belum genap lima tahun menjabat sebagai Bupati Kutim di periode kedua, pada Januari lalu, Isran Noor mengeluarkan penyataan mengejutkan. Ia akan pensiun dini jika program kerja yang diusungnya berhasil dilaksanakan. Pernyataan itu kemudian dibuktikan Isran dengan membuat surat pengunduran diri dari posisi bupati dan diserahkan kepada DPRD Kutim pada saat digelar Sidang Paripurna dengan agenda Pembahasan Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2015, akhir Februari (26/2) lalu.
Pernyataan pengunduran diri tersebut langsung diutarakan Isran di hadapan semua yang hadir dalam sidang. Sementara surat pengunduran diri nomor131/150/OTDA/II/2015 tertanggal 27 Februari 2015 diserahkan langsung kepada Ketua DPRD Kutai Timur Mahyunadi yang saat itu memimpin paripurna.
“Saya ingin belajar dan memberikan kuliah di Monash University, Melbourn, Australia,” kata Isran Noor, di Gedung DPRD Kutai Timur, di Bukit Pelangi
Menurut Isran, menjadi dosen di Monash University bukanlah alasan utama dirinya mundur sebagai Bupati, tapi semata-mana ingin mengabdikan diri di dunia pendidikan kembali seperti dulu. Saat itu Isran mengaku masih membicarakan dengan pihak Monash University soal bidang studi yang akan dia ajarkan ke mahasiswa.
Di depan para wakil rakyat, Isran memohon surat pengunduran dirinya disetujui dan mengangkat Wakil Bupati Ardiansyah Sulaiman menjadi Bupati, meneruskan masa jabatannya hingga Februari 2016. “Saya mohon DPRD segera memroses dan mengajukan pemberhentian ke Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Kalimantan Timur,” ujar Isran didampingi Ardiansyah.
KONTRAVERSI
Pengunduran diri Isran Noor sebagai Bupati Kutai Timur, dinilai mencedrai sumpah jabatan. Sebab, Isran dipilih oleh rakyat Kutai Timur. Karena itu, Isran diminta kembali menimbang dan mencabut pengunduran dirinya tersebut.
“Kalau hanya alasan untuk mengeluti dunia pendidikan dan ingin mengajar jadi dosen di Australia itu bukanlah merupakan alasan yang tepat dan krusial,” ujar Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Kutai Timur, Didik Prabowo di Sangatta.
Didik menegaskan, sikap fraksinya akan menolak membahas usulan Isran Noor mundur dari jabatannya. “Fraksi Gerindra akan menolak pengunduran sebelum Isran menjelaskan alasan-alasanya mundur sebagai bupati,” kata Didik Prabowo.
Fraksi Gerindra, kata dia, tidak bisa membendung niat pengunduran Isran. Sebab, sudah diatur jelas dalam Undang-undang 23 Tahun 2014. “Kami akui itu, namun harus memberikan menjelaskan secara kongkrit dan jelas tujuan pengunduran dirinya,” ujar Didik.
Isran Noor, jelas Didik, masih memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan beberapa tanggung jawab pekerjaan dan program pembangunan yang kini sedang berjalan. Walaupun ada Wakil Bupati, namun jabatan Bupati merupakan jabatan yang krusial, terutama dalam hal pengambilan keputusan-keputusan penting terkait daerah ini.
Sementara Ketua DPC Gerindra Kutim dr Novel Tyty Paembonan menyatakan rasa menyesal dengan sikap Isran yang ingin mundur. “Sebaiknya Isran menarik kembali surat pengunduran dirinya karena tidak baik mundur di tengah jalan,” katanya.
Senada, anggota Komisi D yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Nasdem, Arfan juga menyesalkan sikap pengunduran diri Isran. “Ya, janganlah, kan beliau seorang Bupati yang masa jabatannya masih jauh. Kalau bisa, selesaikan dulu tugas dari sumpah janjinya,” sebutnya.
Selain itu, DPRD pun masih menginginkan Isran menjabat sebagai Bupati. Isran diyakini sangat mengenali Kutim dan mampu menjadikan Kutim lebih baik lagi. “Kami masih sayang dengan Bupati kami. Kalau bisa, selesaikan dulu semuanya karena nasib Kutim ada di tangan beliau,” tandasnya.
Meski demikian, Arfan menyatakan, kewenangan tersebut berada di tangan DPRD Kutim. “Semua keputusan berada di tangan DPRD, harus dikaji ulang dan dikomunikasikan. Ya teman-teman sudah membicarakan ini, tetapi kami tetap menyayangkan keputusan beliau,” kata dia.
Penolakan juga diutarakan wakil rakyat dari Hanura, Herlang Mapatitti. Ia menegaskan, jika ada hal-hal prinsip dan untuk kepentingan negara seperti diangkat sebagai menteri atau duta besar maka pengunduran tidak bisa dihalang-halangi bahkan masyarakat Kutim bangga jika ada putra daerahnya yang berkancah di politik nasional atau menjadi pejabat nasional.
Namun alasan pribadi, ujar Herlang secara tegas DPRD dan masyarakat Kutim akan menolak. Bahkan ia memastikan, DPRD akan melakukan pemanggilan kepada Isran terkait pengunduran dirinya namun setelah ada surat resmi. Herlang mengaku penolakan pengunduran diri Bupati Isran karena kecintaan masyarakat kepada Isran.
“Tidak ada hal lain yang membuat sejumlah kalangan anggota dewan menolak jika Isran mengundurkan diri, karena pembangunan yang dilakukan Isran telah dirasakan masyarakat selain itu daya juang dan kepedulian Isran kepada daerah tinggi,” kata Herlang.
***
Keputusan mengejutkan Bupati Isran Noor bisa dibilang sebagai kasus langka dan sangat jarang terjadi dalam peta perpolitikan di pemerintahan daerah sejak era reformasi. Pemberhentian seorang kepala daerah umumnya terjadi karena meninggal dunia dan diberhentikan karena adanya pelanggaran. Bahkan, kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada periode pertama, hampir pasti ingin mencalonkan lagi untuk jabatan periode kedua, karena undang-undang memang tidak melarangnya.
“Kami mengapresiasi keputusan Pak Isran, meskipun sampai saat ini kami belum tahu pasti alasan beliau mengajukan pengunduran diri,” kata Ketua DPRD Kutai Timur Mahyunadi.
Menurut pandangan pengamat hukum dan politik Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah, pengunduran diri Isran tanpa disertai alasan yang logis merupakan pelanggaran etika pemerintahan. “Seharusnya, Isran Noor memberikan alasan yang logis terkait pengunduran dirinya, tidak hanya ke DPRD, tetapi juga kepada publik yang telah memilihnya,” kata Herdiansyah kepada wartawan.
Ia juga menilai pengunduran diri Isran Noor sebagai sikap yang tidak etis, karena menanggalkan kepercayaan yang diamanatkan masyarakat di tengah masa jabatannya. “Ini soal komitmen, sebab dia masih memiliki tanggung jawab menyelesaikan masa jabatannya hingga 13 Februari 2016. Dia telah menggadaikan kepercayaan publik demi kepentingan pribadinya,” ujarnya.
Ia juga mencurigai indikasi adanya langkah politik di balik pengunduran diri Isran Noor tersebut. “Mundur dan memilih langkah politik lain, memang hak pribadi yang dijamin oleh konstitusi. Tapi, kan mereka sudah tidak mewakili pribadi tetapi jabatannya itu sudah mewakili publik,” ujarnya.
Kasus Isran Noor juga bisa menjadi preseden buruk, karena dia tidak bisa begitu saja menjadikan pemerintahan sebagai alasan pribadi, karena itu merupakan ranah publik. Masyarakat berhak mengetahui alasan yang lebih konkrit soal pengunduran diri tersebut dan Isran Noor tidak boleh mengabaikan masyarakat meminta pertanggungjawabannya.
“Isran harus tahu kalau bupati itu jabatan politik yang pertanggungjawabannya harus kepada publik. Itu, kewajiban yang melekat di dirinya. DPRD sebagai wakil rakyat juga tidak boleh asal menerima dan bertanggung jawab mendesak alasan pengunduran diri,” katanya.
Pernyataan berbeda disampaikan pengamat politik dari Universitas Balikpapan Piatur Pangaribuan. Ia memandang manuver Isran tak lain untuk mencari sensasi. “Pak Isran itu kan sedang tidak berhalangan tetap, tidak gila, dan tidak sakit yang membuat dia tidak bisa menjalankan kewajibannya,” katanya.
Menurut Piatur, pernyataan mundur mantan Ketua DPD Partai Demokrat Kaltim itu hanya menambah pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, sekaligus membebani kas negara karena DPRD harus menggelar sidang untuk membahasnya. “Itulah, pemerintah kita kadang tidak fokus mengurus rakyat, karena disibukkan oleh hal-hal sensasional seperti ini,” katanya.
Alasan mundur karena ingin mengabdi di dunia pendidikan, menurut Piatur sebenarnya niat menjadi dosen masih bisa ditunda hingga masa jabatan bupati berakhir pada Februari 2016. “Secara urgensi, Isran Noor seharusnya lebih mengutamakan kepentingan rakyat Kutai Timur yang sudah memilihnya sebagai pemimpin, ketimbang mengajar sejumlah mahasiswa di ruang-ruang kuliah yang terbatas,” tegasnya.
Di mata Mahyunadi, Ketua DPRD Kutim, pengunduran diri Isran Noor tidak mengejutkannya. Ia menebak, manuver Isran itu tak lain untuk memuluskan istrinya, Noor Baiti, maju bertarung pada Pilkada 2016 mendatang.
Mahyunadi mengaku telah mengamati gerak-gerik Isran Noor sejak dua tahun yang lalu. Dirinya sebagai Ketua DPRD Kutai Timur memiliki kedekatan sebagai mitra pemerintahan. “Saya sudah mengamati dua atau tiga tahun yang lalu,” katanya.
Dalam analisa Mahyunadi, Isran Noor mundur dari jabatan Bupati hanya untuk memuluskan langkah istrinya Noor Baiti maju mencalonkan diri dalam pemilihan bupati yang akan datang. “Menurut analisa politik saya, mundur itu sebagai tahapan untuk memuluskan langkah istrinya, Ibu Noor Baiti akan maju sebagai calon bupati,“ katanya.
Menurut dia, dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pasal 7 huruf q, syarat untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana atau kepala daerah yang sedang menjabat. Dalam penjelasannya, tidak memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Dengan mundurnya Isran Noor, maka Noor Baiti tidak lagi memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Saat Ardiansyah Sulaiman ditetapkan menjadi bupati definitif, maka yang menjadi petahana adalah Ardiansyah Sulaiman.
“Kalau Pak Isran mengundurkan diri, berarti pak Isran bukan petahana, yang petahana adalah Pak Ardian (Ardiansyah–red) yang tidak boleh maju adalah istrinya Pak Ardian,” ujarnya.
Bagaimana menurut Isran soal analisa tersebut? Pada kesempatan berbeda, Isran membantah. Ia mengungkapkan, pengunduran dirinya murni keinginan pribadi. Tidak ada motif politik atau masalah tertentu yang membuatnya harus mundur sebelum waktunya. Isran juga tegas membantah bila pengunduran dirinya untuk memuluskan langkah istrinya maju pada pilkada yang akan digelar Desember 2015 nanti. “Enggak lah (karena istri). Istri mau maju atau tidak itu urusan istri saya karena dia punya karir politik sendiri. Soal bupati, gubernur itu kan pilihan,” kata Isran.
Istri Isran, Norbaiti Isran Noor saat ini merupakan anggota DPR RI periode 2014-2019. Pada pileg lalu, Norbaiti meraih 53.283 suara dan menempati satu kursi yang diraih Partai Demokrat dari Dapil Kaltim. Norbaiti ramai diberitakan akan maju dalam pilkada nanti. [] RedHP