DPRD Dukung Transisi SMAN 10 Secara Adil dan Bijak

PARLEMENTARIA – Kepastian kembalinya SMAN 10 Samarinda ke lokasi asal di Jalan H.M. Rifaddin, Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Loa Janan Ilir, menyisakan ruang diskusi yang lebih luas daripada sekadar pelaksanaan putusan hukum. Keputusan yang bersumber dari Putusan Mahkamah Agung (MA) itu menandai akhir dari proses hukum yang panjang, tetapi bukan akhir dari perjalanan mencari keadilan yang utuh bagi semua pihak.
Kisah ini bukan hanya tentang relokasi sekolah unggulan di Kalimantan Timur, tetapi juga tentang relasi antara institusi pendidikan, pemerintah, dan lembaga swasta yang selama bertahun-tahun menjadi bagian integral dari ekosistem pendidikan — dalam hal ini Yayasan Melati.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama berbagai pihak, Komisi IV DPRD Kalimantan Timur memberikan penekanan penting: implementasi hukum harus tetap mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keberlangsungan pendidikan.
“Kami sudah pesan agar hal itu tidak terjadi. Kebijakan Pemprov harus menyelamatkan dan tidak boleh abai terhadap Yayasan Melati,” tegas Darlis Pattalongi, Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim.
Darlis menyampaikan bahwa langkah pemerintah provinsi dalam mengeksekusi putusan MA haruslah dilakukan secara arif. Ia mengingatkan bahwa Yayasan Melati bukan sekadar pihak yang terlibat, melainkan mitra sejarah yang telah membidani kelahiran dan perkembangan SMAN 10.
“Yayasan Melati bukan hanya bagian dari sejarah SMAN 10, tapi juga bagian dari masa depannya. Kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa sekolah ini lahir juga dari kontribusi dan komitmen mereka,” katanya.
Darlis berharap Pemerintah Provinsi Kaltim mampu menciptakan solusi yang adil dan konstruktif, terutama untuk memastikan proses pendidikan tidak terputus. Menurutnya, selama masa transisi, kegiatan belajar mengajar tetap bisa berjalan dengan memanfaatkan fasilitas milik Yayasan Melati.
“Kalau tetap berada dalam satu lokasi, Yayasan Melati di sana dan SMA 10 juga di sana, maka itu harus betul-betul dipisahkan secara teknis dan administratif,” jelasnya.
Ia juga menyarankan agar pemerintah membuka peluang kerja sama berbasis keadilan, seperti skema pinjam pakai aset atau lahan, agar tidak ada pihak yang dirugikan.
“Ini soal aset bangsa, bukan sekadar bangunan atau tanah,” pungkasnya.
Di balik keputusan final yang bernuansa hukum, masih tersimpan harapan bahwa pendidikan dapat terus tumbuh di atas dasar kepercayaan, kolaborasi, dan penghormatan terhadap peran semua pihak. SMAN 10 kembali ke rumah lamanya bukan untuk memulai konflik baru, melainkan membuka lembaran baru — di mana sejarah dan masa depan bisa berjalan berdampingan.
Penulis: Selamet