DPRD Kaltim Kritik Pemprov, Guru TPA Harus Diakui

PARLEMENTARIA – Perhatian terhadap pendidikan non-formal, khususnya peran guru Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), kembali menjadi sorotan di Kalimantan Timur. Meski berperan penting dalam membentuk karakter dan akhlak generasi muda, para guru TPA dinilai belum mendapat pengakuan dan dukungan yang layak dari pemerintah daerah.
Hal ini disampaikan Anggota Komisi I DPRD Kalimantan Timur, La Ode Nasir, yang menegaskan bahwa kontribusi guru TPA tak bisa diabaikan dalam kerangka besar pembangunan sumber daya manusia. Ia menilai sudah saatnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mengambil langkah konkret untuk memperbaiki kesejahteraan para pendidik di sektor ini. “Para guru TPA bekerja dalam diam, tapi hasil dari pengajaran mereka menentukan masa depan karakter anak-anak kita. Ini bukan pekerjaan kecil, melainkan pondasi peradaban,” ujar La Ode, Senin, 26/06/2025.
Ia menyoroti realitas pahit yang dihadapi para guru TPA, yakni bergantung pada sumbangan masyarakat yang seringkali tak menentu. Padahal, tanggung jawab mereka tidak kalah besar dibandingkan guru di jalur pendidikan formal.
Kritik ini mencerminkan kegagalan struktural dalam memprioritaskan pendidikan agama sebagai fondasi karakter bangsa. La Ode menilai, tanpa dukungan insentif yang memadai, keberlangsungan pendidikan moral dan spiritual anak-anak di tingkat akar rumput bisa terancam. “Jika guru mata pelajaran umum bisa mendapatkan tunjangan, mengapa tidak dengan guru TPA? Mereka juga mendidik, bahkan di bidang yang sangat fundamental,” tegasnya.
La Ode mendesak pemerintah untuk segera menyusun rencana strategis yang komprehensif. Mulai dari pendataan guru TPA secara menyeluruh, penetapan kriteria pemberian bantuan, hingga pelaksanaan insentif rutin melalui APBD atau skema hibah keagamaan.
Baginya, bentuk pengakuan terhadap guru TPA bukan sekadar apresiasi simbolis, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk dukungan riil dan berkelanjutan.
Upaya memperkuat pendidikan karakter, menurutnya, tidak akan berhasil tanpa menyentuh lapisan masyarakat paling bawah yang justru menjadi pondasi pendidikan akhlak.
Kritik ini diharapkan dapat menjadi pemicu bagi Pemprov Kaltim agar mengevaluasi kembali arah kebijakan pendidikannya, dengan lebih inklusif dan memperhatikan semua elemen pendidikan, termasuk mereka yang selama ini bekerja dalam sunyi. []
Penulis: Selamet