DPRD Kukar Bentuk Tim Ad Hoc Usut Kasus Ponpes Tenggarong Seberang

ADVERTORIAL – Kasus dugaan pencabulan di salah satu pondok pesantren (ponpes) di Tenggarong Seberang mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Kartanegara (Kukar) mengambil langkah serius. Melalui Komisi IV, dewan membentuk tim ad hoc yang akan menelusuri akar persoalan sekaligus memastikan penanganannya tidak berhenti pada proses hukum semata.

Ketua Komisi IV DPRD Kukar, Muhammad Andi Faisal, menegaskan kasus tersebut bukan perkara biasa. “Kami fokus pada tiga hal. Pertama, memastikan pelaku mendapatkan hukuman sesuai perbuatannya. Kedua, memberikan pendampingan bagi korban dan orang tuanya agar bisa pulih dan kembali hidup normal. Ketiga, melakukan pembenahan sistem di pondok pesantren, tidak hanya di Tenggarong Seberang yang lagi jadi pembahasan tetapi juga seluruh pondok di Kukar,” tegasnya.

Rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar bersama kepolisian, Kementerian Agama, dan sejumlah instansi lain pada Selasa (19/08/2025) memunculkan berbagai rekomendasi. Mayoritas peserta menilai perlu ada tindakan tegas terhadap pengelola ponpes. “Ada opsi pembekuan, pengawasan selama lima tahun, atau penutupan total. Pemerintah daerah cenderung ingin ditutup, tetapi tentu harus melalui tahapan,” jelas Andi Faisal.

Sebagai tindak lanjut, DPRD akan menggandeng psikiater dari RS AM Parikesit untuk melakukan konseling dan pemeriksaan kepada seluruh santri pekan depan. Menurut data Kemenag, jumlah santri di pesantren itu sekitar 400 orang. “Mereka semua akan diperiksa, termasuk alumni, karena ada indikasi korban perempuan dan bahkan pelaku lain,” ungkapnya.

Tim ad hoc yang baru dibentuk tak hanya menyasar ponpes yang menjadi sorotan, tetapi juga seluruh sekolah berasrama di Kukar. Upaya itu melibatkan psikolog, psikiater, serta dinas terkait agar perlindungan anak dapat lebih maksimal. “Kami tidak main-main, langkah ini harus komprehensif karena menyangkut masa depan anak-anak Kutai Kartanegara,” tambahnya.

Andi Faisal menilai lemahnya sistem pengawasan membuat ponpes tersebut sulit diakses publik. “Berbeda dengan pondok lain yang terbuka, Ponpes ini sangat eksklusif hingga sulit diakses. Ke depan, Kemenag harus memperketat pengawasan agar hal ini tidak terulang,” katanya.

Dewan juga mengingatkan bahwa pesantren tersebut pernah tersandung kasus serupa pada 2021 dan 2022 yang kala itu diselesaikan tanpa proses hukum yang tuntas. Untuk itu, DPRD berencana memperluas pemantauan ke sekolah boarding, termasuk SMA, SMK, dan sekolah Islam terpadu.

Sebagai langkah pencegahan, hotline pengaduan akan dipasang di setiap ponpes dan sekolah asrama. “Setiap tiga bulan sekali tim dari Dinas Sosial serta Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak akan turun langsung. Tahun depan kita anggarkan lebih besar agar pengawasan bisa berjalan maksimal,” pungkasnya.[]

Penulis: Suryono | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *