DPRD Mediasi Konflik Warga vs Tambang di Samarinda

PARLEMENTARIA – Ketegangan antara masyarakat dan perusahaan tambang kembali menjadi sorotan di Kalimantan Timur. Sengketa yang melibatkan PT Insani Bara Perkasa (IBP) dengan warga RT 27 Kelurahan Handil Bhakti, Kecamatan Palaran, Samarinda, menjadi cermin nyata pentingnya penyelesaian konflik agraria berbasis keadilan dan transparansi.

Kasus ini mencuat setelah seorang warga bernama Sutarno melaporkan dugaan penggarapan lahan miliknya tanpa izin oleh perusahaan tambang tersebut. Sutarno mengklaim memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah tersebut sejak 1992. Menanggapi laporan ini, Komisi I DPRD Kalimantan Timur segera turun tangan dan mengambil peran sebagai fasilitator mediasi antara kedua pihak.

Wakil Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Agus Suwandi, menyatakan bahwa lembaganya tidak berpihak, melainkan mendorong penyelesaian yang adil dan menghindari perpecahan sosial di masyarakat. “Jika memang benar sertifikat atas nama Pak Sutarno itu sah, maka penyelesaian yang paling adil adalah melalui kesepakatan ganti rugi atau transaksi jual beli,” ujarnya kepada wartawan, Selasa, 27/05/2025.

Menurut Agus, upaya hukum sebelumnya di pengadilan tidak membuahkan hasil karena substansi gugatan yang tidak sinkron. Komisi I pun mencoba jalur informal yang lebih komunikatif untuk membuka ruang dialog yang konstruktif.

Ia menekankan bahwa perusahaan harus menunjukkan itikad baik dalam menyikapi aduan warga, termasuk apabila terdapat indikasi tumpang tindih kepemilikan lahan. “Perusahaan harus membuka ruang negosiasi dan tidak membiarkan persoalan ini menggantung. Jika ada pengakuan hak milik yang sah, maka musyawarah dan ganti rugi adalah langkah rasional,” tegasnya.

DPRD Kaltim pun mendorong agar mediasi berikutnya dilakukan secara langsung tanpa harus melalui forum formal yang bertele-tele. Menurut Agus, kedua belah pihak sejatinya memiliki niat untuk menyelesaikan permasalahan secara damai, meski perbedaan pendapat terkait nilai kompensasi masih menjadi hambatan utama. “Yang penting prosesnya berjalan jujur dan terbuka. Kita tidak ingin sengketa seperti ini terus berulang, apalagi sampai menimbulkan konflik horizontal di masyarakat,” pungkasnya.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa penyelesaian konflik agraria memerlukan pendekatan holistik—yang mengutamakan kejelasan dokumen, mediasi terbuka, dan kehadiran negara melalui peran lembaga legislatif daerah. []

Penulis: Selamet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *