DPRD Soroti Ketimpangan Infrastruktur Pedalaman

PARLEMENTARIA – Pembangunan infrastruktur di wilayah pedalaman Kalimantan Timur kembali menjadi sorotan. Wakil Ketua DPRD Kaltim, Ekti Imanuel, mengkritisi pendekatan yang selama ini diterapkan pemerintah pusat dalam memperbaiki jalan nasional, terutama di ruas vital Barong Tongkok–Mentiwan, Kutai Barat.

Ketimpangan pembangunan antara kawasan perkotaan dan pedalaman menjadi isu mendesak yang terus disuarakan Ekti. Menurutnya, masyarakat di daerah hulu tak seharusnya terus menjadi korban dari kebijakan infrastruktur yang tidak menyentuh akar masalah. “Ini soal keadilan pembangunan. Jangan biarkan masyarakat pedalaman terus tertinggal hanya karena infrastruktur tak kunjung layak. Kondisi jalan tidak pernah benar-benar pulih. Diperbaiki sebentar, rusak lagi. Ini karena perbaikannya setengah hati dan tidak menyeluruh,” ujar Ekti.

Ia menggarisbawahi bahwa ruas Barong Tongkok–Mentiwan merupakan satu-satunya akses utama masyarakat, lantaran tidak ada jalur provinsi yang melewati wilayah tersebut. Dengan posisi strategis itu, kerusakan jalan menjadi penghambat utama mobilitas barang, orang, dan pelayanan dasar.

Meskipun pemerintah pusat telah menganggarkan dana sebesar Rp900 miliar untuk perbaikan jalan tersebut yang akan dimulai pertengahan 2025 hingga 2027, Ekti menekankan perlunya pengawasan ketat agar proyek berjalan sesuai rencana dan tidak berhenti di tengah jalan. “Ruas ini sangat vital. Tidak ada jalan provinsi yang melintasi wilayah kami, jadi jalan nasional adalah satu-satunya urat nadi masyarakat,” tegasnya.

Selain itu, ia juga menyoroti kebutuhan perbaikan di beberapa ruas penting lain seperti Simpang Blusu, Simpang Damai, SP1–Muara Gusi, dan Muara Gusi–Simpang Kalteng, yang masih minim perhatian.

Skema tahunan yang selama ini digunakan, menurut Ekti, tidak mampu menjawab kebutuhan jangka panjang. Oleh karena itu, ia mendesak Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) agar beralih ke pendekatan multiyears. “Kalau perbaikannya asal-asalan, masyarakat kami yang paling menderita,” lanjutnya.

Dengan skema kontrak jangka panjang, proyek infrastruktur bisa dikelola secara berkesinambungan dan tidak terhenti karena dinamika anggaran tahunan. Ini bukan hanya soal jalan, tetapi soal bagaimana negara hadir secara nyata di daerah-daerah yang selama ini berada di pinggiran perhatian pembangunan nasional. []

Penulis: Selamet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *