DPRD Tekankan Peran Sekolah dan Ormas dalam Penanganan Stunting

ADVERTORIAL – Persoalan stunting kembali menjadi perhatian serius dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalimantan Timur (Kaltim) 2025–2029. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim menilai, tren penurunan stunting yang masih sangat lamban menandakan bahwa strategi yang selama ini dijalankan belum menyentuh akar masalah. Ketua Panitia Khusus RPJMD DPRD Kaltim, Syarifatul Sya’diah, menyebut pendekatan normatif dan seremonial dalam penanganan stunting harus segera ditinggalkan. Menurutnya, masalah ini jauh lebih kompleks daripada sekadar urusan pemberian makanan tambahan.
“Stunting bukan cuma soal gizi. Ini soal sanitasi, pendidikan, kesehatan dasar, hingga kondisi ekonomi keluarga. Kalau tidak ditangani secara komprehensif, kita hanya buang-buang anggaran,” tegasnya, Jumat (01/08/2025).
Ia menilai pemerintah daerah harus menyusun program yang berbasis data dan memiliki indikator capaian yang jelas. Target penurunan stunting, kata Syarifatul, harus realistis sekaligus ambisius agar bisa menjadi tolok ukur pembangunan sumber daya manusia.
“Kalau program tidak menyentuh masalah sebenarnya, lebih baik dihentikan saja. Evaluasi itu penting, jangan sampai kegiatan hanya jadi formalitas,” ujarnya.
Selain soal perencanaan, Syarifatul juga menyoroti lemahnya pengawasan distribusi bantuan dan minimnya pelibatan masyarakat. Ia mendorong penguatan tim pendamping keluarga, peran kader desa dan puskesmas, serta keterlibatan sekolah dan organisasi sosial.
“Perlu keterlibatan semua pihak, termasuk sekolah dan ormas. Karena stunting bukan hanya isu kesehatan, tapi soal masa depan generasi Kaltim,” lanjutnya.
Pandangan serupa disampaikan Kepala DKP3A Kaltim, Noryani Sorayalita, yang menekankan pentingnya intervensi sejak masa kehamilan. Ia menyebut masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) sebagai fase krusial untuk mencegah stunting.
“Stunting harus dicegah sejak dalam kandungan hingga anak usia dua tahun. Itu masa krusial perkembangan otak dan tubuh. Kalau lewat masa itu, dampaknya bisa permanen,” jelasnya.
Meski edukasi HPK sudah berjalan melalui lintas sektor, Soraya mengakui capaian penurunan stunting masih jauh dari ideal. Dalam periode terakhir, prevalensi stunting di Kaltim hanya berkurang 0,7 persen.
“Ini menunjukkan pendekatan kita masih terlalu umum. Harus ada strategi baru yang lebih menyentuh langsung keluarga dan komunitas,” katanya.
Ia menekankan bahwa pola asuh, pemberian ASI eksklusif, serta akses adil terhadap makanan bergizi dan layanan kesehatan dasar harus berjalan paralel agar target pembangunan manusia di Kaltim bisa tercapai.
“Stunting bukan cuma tentang kurang makan. Ini soal pengetahuan, kebiasaan, dan akses. Semua harus dipecahkan secara paralel,” pungkasnya. []
Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum