Dugaan Korupsi, Jaksa Sita Mobil Fahutan
SAMARINDA – Proses hukum dugaan korupsi dana abadi Fakultas Kehutanan (Fahutan) Unmul tahun 2009–2012 memasuki babak baru. Setelah Chandra Dewana Boer ditetapkan tersangka pada akhir April lalu, kemarin (11/5) penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda menyita barang bukti.
Ya, mobil yang dibeli mantan dekan Fahutan itu disita sebagai barang bukti. Tim satuan khusus pemberantasan korupsi Kejari Samarinda tiba di Kampus Unmul sekitar pukul 10.30 Wita. Tim yang terdiri atas empat orang tersebut langsung menemui Rektor Unmul Masjaya.
Anggota tim yang juga Kasi Intel Kajari Samarinda Hamzah Ponong mengatakan, pihaknya sengaja tidak langsung datang ke Fahutan untuk menyita barang bukti tersebut. “Kami sudah tahu posisi barang bukti ada di Kampus Fahutan. Kami tak ingin menarik perhatian masyarakat,” terangnya di sela-sela pertemuan tersebut.
Menurut dia, lebih baik tersangka dan barang bukti dibawa ke Rektorat Unmul untuk dilakukan penyitaan. Tim dari Kejari disambut Masjaya di ruang kerjanya. Setelah tim memberi tahu tujuan mereka, dia langsung memanggil Chandra dan Dekan Fahutan Hari Siswanto.
Chandra dan Hari datang setengah jam kemudian. Dari pembicaraan di ruang kerja rektor itu, diketahui bahwa tersangka membeli mobil tersebut karena selama ini Fahutan belum pernah mendapat mobil dinas dari universitas.
Anehnya, jika mobil tersebut sebagai kendaraan operasional fakultas seharusnya menggunakan pelat merah. Namun, dari pantauan Kaltim Post, Ford Everest putih keluaran 2010 dengan nopol KT 1433 MJ tersebut memakai pelat hitam yang menandakan milik pribadi.
Selain mobil, surat tanda nomor kendaraan (STNK) dan buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB). Namun, BPKB tidak bisa langsung disita karena menurut kesaksian Chandra, BPKB ada di Fahutan.
Setelah proses penyitaan barang bukti tersebut, Chandra irit bicara saat diwawancarai awak media. Pertanyaan Kaltim Post hanya dijawab seadanya sambil keluar Rektorat Unmul. Saat ditanya alasan mobil tersebut dibeli atas nama dia, Chandra mengatakan, “Memang mau pakai nama siapa? Saya ‘kan dekan waktu itu. Dan, tak mungkin beli mobil menggunakan nama lembaga,” terangnya sambil meninggalkan kerumunan wartawan.
Sementara itu, Masjaya ternyata belum tahu status Chandra sudah menjadi tersangka. Ia mengatakan, mantan Dekan Fahutan tersebut masih menjalani aktivitas sebagai dosen. “Beliau masih tercatat sebagai dosen Unmul, maka kami akan membantu dari sisi bantuan hukum,” ujar Masjaya.
Ia menjelaskan, niat awal Chandra sebenarnya baik. Mobil tersebut penggunaannya memang untuk fakultas. “Yang sekarang ditelusuri kan prosedurnya,” sebut dia.
Rektor belum memutuskan sanksi apapun untuk Chandra. Ia bisa memberi sanksi berdasar peraturan PNS. “Intinya, kami akan membantu dari segi hukum. Kalau memang beliau sudah ada penasihat hukum bisa kolaborasi dengan yang ditunjuk universitas,” ungkapnya.
Ia berharap, kasus yang menimpa salah seorang pengajarnya tersebut tak terbukti. Kalaupun terbukti bisa menjadi ringan. Menurut Masjaya, itu hanya masalah komunikasi. Saat itu, sedang terjadi transisi Unmul menjadi Badan Layanan Umum (BLU).
Terpisah, Kajari Samarinda Costantein Ansanay, menekankan, kasus itu sudah lama masuk penyidikan. “Jadi tersangka sudah ditetapkan,” ucapnya di ruang kerjanya.
Progres penyidikan sudah masuk 75 persen. Costantein mengatakan, awalnya, kerugian negara mencapai Rp 800 juta. Ternyata, setelah dihitung dan pengumpulan data kembali, kerugian negara atas perkara ini mencapai Rp 2,7 miliar. “Ya, Rp 400 juta dibelikan mobil, sisanya disimpan di rekening pribadi tersangka,” tutur Kajari.
Ia membantah alasan komunikasi membuat Chandra berbuat demikian. Pasalnya, dari pemeriksaan diketahui Chandra mendapat selebaran tentang perubahan Unmul menjadi BLU. “Sudah disosialisasikan dan tersangka tahu peraturan tersebut. Lantas, kenapa masih disalahgunakan,” pungkasnya.
Diketahui, kasus ini semula dilaporkan ke Kejati Kaltim. Kemudian, penanganan kasus dilimpahkan ke Kejari Samarinda. Modus dugaan korupsi itu dilakukan dengan cara menyimpan dana abadi hasil jasa riset di dua perusahaan PT Turbaindo dan PT Berau Coal ke rekening pribadi tersangka.
Seharusnya, seiring Unmul menjadi BLU, dana seperti itu dimasukkan dulu ke kas universitas sebagai bentuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Pihak fakultas jika hendak menggunakan dana harus lebih dulu membuat usulan atau proposal penggunaan, tak bisa langsung dibelanjakan. Tetapi yang terjadi dana disimpan di rekening pribadi Chandra. [] KP