Dugaan Korupsi Pendaftaran Sertifikat Gratis di Kukar Menyeruak
KUTAI KARTANEGARA – Korupsi disebut sudah membudaya sampai ke level akar rumput. Program-program baru yang dibuat pemerintah tak luput dari bancakan koruptor. Seperti halnya Program Pendaftaran Tanah Sistematis Langsung (PTSL) yang dicanangkan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk sertifikasi tanah gratis yang ditarget 80 juta bidang. Korupsi yang menyeruak di program ini adalah saat usulan dibuat di desa dan kelurahan. Pungutan di desa yang diambil dari masyarakat yang seharusnya masuk anggaran dan peruntukkannya jelas diduga banyak disimpangkan. Pungutan-pungutan lain terkait penyediaan alas surat juga diduga banyak terjadi.
Dewan Pengurus Cabang (DPC) Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang selama ini memantau berjalannya salah satu program unggulan masyarakat tersebut menemukan sejumlah titik kelemahan dan bahkan mengarah ke tindak pidana korupsi. Bahkan di awal 2018 lalu, pihak LAKI Kukar melaporkan adanya temuan dugaan tipikor terkait pendaftaran sertifikat tanah gratis tersebut ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Tenggarong.
Jemmy Suryono selaku Ketua LAKI Kukar mengungkapkan, temuan dugaan korupsi program PTSL tersebut terkait adanya pungutan yang dilakukan pihak Pemerintah Desa ke masyarakat untuk program PTSL yang dilakukan secara ilegal, pendapatannya tidak masuk dalam mata anggaran desa dan penggunaannya tidak dipergunakan sebagaimana mestinya.
“Yang kami temukan, ada pungutan Rp. 250 ribu hingga jutaan rupiah. Itu dilakukan secara tidak sah tanpa dasar hukum untuk memungut, kemudian tidak dimasukkan dalam APBDes (Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, red), serta penggunaannya diselewengkan,” ungkap Jemmy Suryono saat menggelar diskusi bersama pengurus LAKI Kukar dalam rangka mempersiapkan sosialisasi Pemilihan Umum (Pemilu) yang bersih di Tenggarong, Rabu (10/1/2019).
Dan yang dilaporkan itu, kata Jemmy Suryono, terjadi di Desa Rempanga yang sebelumnya ada kasus tangkap tangan pungutan liar oleh pihak Kepolisian Resor (Polres) Kutai Kartanegara. “Tapi ini kasusnya berbeda, ini kasusnya bukan saja mengarah ke pidana, tapi yang kita laporkan ini mengarah ke korupsi yang dilakukan pihak Pemerintah Desa,” tandas Jemmy.
Yang ditangani Polres Kukar, menurut pandangan Jemmy, itu mengarah ke delik aduan. Sepanjang pemerintah desa mengembalikan uang yang dipungut, kemungkinan kasusnya dihentikan. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan media ini, sebelumnya memang ada kasus tangkap tangan yang dilakukan penyidik Polres Kukar yang terjadi di Jalan Gunung Petung, RT 3, Desa Rempanga. Korbannya diduga istri seorang polisi dan dari hasil pengembangan sejumlah salinan surat tanah yang dibuat Pemerintah Desa Rempanga telah diambil pihak penyidik Polres Kukar sebagai barang bukti. “Ada delapan fotokopi surat tanah yang diminta dan kami berikan ke polisi,” ungkap salah seorang warga di Jalan Gunung Petung yang enggan identitasnya dimuat di media ini, beberapa waktu lalu.
Sementara yang dilaporkan LAKI Kukar, kata Jemmy Suryono, itu terkait pelanggaran tiga hal, yakni soal dasar hukum pungutan, pungutan tidak dimasukkan dalam pendapatan di desa, dan penyimpangan dalam penggunaannya. “Pungutan yang dilakukan pihak Pemerintah Desa, apapun itu bentuknya harus ada Peraturan Desa (Perdes)-nya. Dan setelah kita teliti, tidak satupun desa-desa yang menjadi sasaran program PTSL itu ada membuat Perdes tentang pungutan. Ini jelas menyalahi aturan,” ungkap Jemmy Suryono.
Disinggung soal adanya Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 25/SKB/V/2017, Menteri Dalam Negeri Nomor 590-3167A Tahun 2017, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis, Jemmy membenarkan hal tersebut, tapi pelaksanaan pungutan tetap harus sesuai ketentuan yang berlaku. “Jangan berpatokan dengan itu saja, ada ketentuan dalam regulasi lain yang juga harus dilaksanakan,” tandas Jemmy.
Berdasarkan uraian dalam keputusan bersama menteri tersebut menerangkan bahwa Kaltim termasuk wilayah III yang membolehkan adanya pungutan bagi petugas desa dan kelurahan untuk operasional usulan PTSL, yakni sebesar Rp 250 ribu. Biaya kegiatan operasional petugas kelurahan/desa itu mencakup biaya penggandaan dokumen pendukung, biaya pengangkutan dan pemasangan, dan biaya transportasi petugas desa dari desa ke kantor pertanahan dalam rangka perbaikan dokumen. Selain itu juga digunakan untuk biaya pengadaan tiga buah patok yang spesifikasinya sesuai ketentuan pertanahan dan satu buah materai untuk surat pernyataan yang harus dibuat pengusul sertifikat gratis.
Dijelaskan Jemmy, peraturan terkait pungutan yang harus diikuti pemerintah desa adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa dan Permendagri 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang diganti dengan Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. “Di Permendagri 113 tahun 2014 itu jelas, setiap pungutan di desa itu harus dibuat Perdes. Kalau tidak ada Perdes berarti pungli, termasuk uang Rp 250 ribu itu. Faktanya ini yang memungut para pejabat di desa jadi harus ada Perdes,” terang Jemmy Suryono.
Ditanya bagaimana diperoleh informasi bahwa tidak satupun pemerintah desa membuat pungutan tanpa ada dibuat Perdes, Jemmy menyebut, pihaknya sudah mengkonfirmasi pihak Pemerintah Kabupaten, dalam hal ini Bagian Hukum. “Permendagri 111 Tahun 2014 itu mengamanahkan, setiap Rancangan Perdes pungutan desa yang dibuat di desa itu harus dievaluasi terlebih dahulu oleh Bupati. Jika tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi serta kepentingan hukum, maka dibuatkan Surat Keputusan. Nyatanya, tidak satupun ada Perdes yang dievaluasi oleh Bupati ,” terang Jemmy.
Dikatakannya, hasil evaluasi yang dilakukan Bupati itu dilakukan oleh Camat itu laporannya tidak ada di Sekretariat Kabupaten, terutama di Bagian Hukum. Tiga hari setelah Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa menyepakati penyusunan Rancangan Perdes pungutan, maka harus disampaikan kepada Bupati. Tidak boleh berlarut-larut. “Kami pastikan tidak ada perdes yang menaungi pungutan-pungutan itu. Dan jika ada yang mengatakan itu dinaungi Perdes, itu pasti bohong besar. Kita akan buktikan,” papar Jemmy.
Selain soal keabsahan pungutan yang tidak dinaungi Perdes, diterangkannya bahwa pungutan juga ada yang melampuai batas dan kewenangan Pemerintah Desa. “Kepala Desa itu tidak boleh membuat surat keterangan tanah, bukan kewenangannya dan tidak ada dasar hukumnya. Faktanya, ada surat pemecahan tanah yang dibuat di desa sebagai alas hak itu dibuat di desa dan untuk membuat dan melakukan pengukuran itu membayar sejumlah uang, nilainya sampai jutaan rupiah,” sebut Jemmy.
Dan yang diproses oleh pihak Polres Kukar, kata dia, kemungkinan besar menyangkut kasus tersebut. “Alas hak yang dijadikan syarat untuk diusulkan dalam PTSL itu sebenarnya sederhana, yakni Surat Pernyataan Penguasaan Tanah yang formatnya sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1756/15.1/IV/2016. Yang mengukur bukan pemerintah desa, itu dari Kantor Pertanahan. Petugas ukur itu profesional ada ilmunya, tidak bisa dilakukan oleh Pemerintah Desa dan jelas bukan wewenangnya,” papar Jemmy.
Potensi korupsi lainnya, terang dia, adalah pungutan yang dibuat di desa tidak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). “Ini juga kita pastikan, tidak ada pungutan terkait pembuatan surat tanah dan PTSL ini dimasukkan dalam APBDes. Yang kita laporkan di Desa Rempanga, juga terkait dengan ini. Di APBDes Tahun Anggaran 2017 dan 2018, tidak ada pungutan itu masuk dalam pendapatan,” ungkap Jemmy.
Dikatakan Jemmy, pungutan yang tidak dimasukkan dalam APBDes jelas menyalahi ketentuan tentang Pengelolaan Keuangan Desa. “Kalau bukan pemerintah desa tidak akan bisa memungut dan kalau orang yang menjabat sebagai kepala desa dan perangkat desa yang memungut, maka pungutannya harus masuk dalam APBDes. Itu ketentuannya jelas,” urai Jemmy.
Hal lain yang menjadi perhatian LAKI Kukar, kata Jemmy, adalah terkait penggunaan pungutan yang tidak sesuai ketentuan. Temuan hasil investigasi LAKI Kukar, masyarakat yang dimintai uang pendaftaran Rp 250 ribu bahkan lebih, tetap dibebankan membeli patok tanah sendiri, menggandakan surat-surat serta membeli materi sendiri. “Seharusnya uang Rp 250 ribu itu di antaranya untuk beli patok, materi, dan fotokopi. Faktanya, masyarakat disuruh beli patok dan materi sendiri,” ungkap Jemmy.
Atas laporan yang dibuat ke Kejari Kukar tersebut, Jemmy meminta agar segera diusut tuntas. Kasus tersebut akan menjadi pelajaran berharga agar tidak merusak program sertifikasi tanah gratis dari Presiden Joko Widodo. “Kami mengingatkan Kejari agar menindaklanjuti laporan kami sesuai Standar Operasional Prosedur yang sudah ditetapkan. Ini harus diseriusi agar menjadi pelajaran. Kami sudah sampaikan bukti-bukti yang menurut kami sudah kuat, saksi-saksi korban pungutan liar juga kami fasilitasi,” papar Jemmy.
Diterangkannya, Kepala Desa merujuk Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan pegawai negeri. Selain itu pada Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Kepala Desa juga bisa disebut penyelenggara negara. “Gajin Kepala Desa kan dari Alokasi Dana Desa, itu dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Jadi Kepala Desa yang melanggar aturan dan merugikan keuangan negara bisa dijerat Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001,” tandas Jemmy.
Ketentuan tersebut, pungkas Jemmy, menyebutkan bahwa Pegawai Negeri atau penyeleggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri. “Itu jelas korupsi dan harus diberantas, kalau tidak program sertifikat gratis jadi hancur dramatis,” pungkasnya. []