Enam Tersangka Hasut Pelajar Lewat Medsos, Ratusan Terjerat Aksi Ricuh

JAKARTA – Perkembangan teknologi komunikasi, khususnya media sosial, kembali menjadi sorotan setelah ratusan pelajar terseret dalam aksi anarkis di Jakarta pada 25 dan 28 Agustus 2025.

Polisi mengungkap, ajakan untuk turun ke jalan bukan datang dari ruang kelas atau lingkungan sekolah, melainkan dari akun-akun anonim di dunia maya yang sengaja menyebarkan provokasi.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi menegaskan, enam akun media sosial yang dikelola oleh para tersangka berinisial DMR, MS, SH, KA, RAP, dan FL, menjadi sumber penghasutan yang memicu keterlibatan anak-anak di bawah umur.

“Anak-anak ini berada dalam atau dilibatkan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan dan membiarkan anak tanpa pelindungan jiwa,” ujar Ade Ary saat konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Selasa (2/9/2025) malam.

Menurut polisi, aksi pada 25 Agustus 2025 sebenarnya diawali dengan unjuk rasa damai mahasiswa di depan Gedung DPR/MPR RI. Aparat sudah bersiaga untuk memastikan kegiatan berjalan tertib.

Namun, setelah massa mahasiswa membubarkan diri, kelompok orang tak dikenal (OTK) muncul dan melakukan serangan berupa pelemparan serta perusakan fasilitas umum.

“Pada aksi yang berujung ricuh yang sama sekali tidak diawali dari proses penyampaian pendapat. Jadi datang langsung ricuh,” kata Ade Ary.

Dalam kericuhan itu, polisi menangkap 337 orang. Data kepolisian menunjukkan, dari jumlah tersebut terdapat 202 pelajar, 26 mahasiswa, dan 109 warga umum.

Mereka diduga kuat terpengaruh oleh konten provokatif yang disebarkan di media sosial.

Hanya berselang tiga hari, situasi serupa terulang. Pada 28 Agustus 2025, polisi mencatat jumlah massa yang terlibat justru lebih besar.

“Dilakukan analisis akun yang memberikan hasutan ajakan kepada para pelajar untuk melakukan aksi anarkis,” kata Ade Ary.

Polda Metro Jaya menyebut 28 Agustus merupakan puncak aksi anarkis. Polisi mengamankan 794 orang, mayoritas pelajar yang seharusnya sedang mengikuti kegiatan belajar di sekolah.

“Aksi anarkis terjadi dan didominasi oleh pelajar anak yang seharusnya melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya masing-masing,” imbuh Ade Ary.

Polisi tidak serta-merta membawa semua pelajar ke jalur hukum. Ratusan anak yang diamankan lebih dulu menjalani tes urine dan konseling.

Setelah itu, mereka dikembalikan ke orang tua masing-masing melalui prosedur resmi yang melibatkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dinas terkait, serta pihak sekolah.

“Saat itu sudah kami jelaskan mengundang KPAI, dinas terkait, kemudian mengundang orangtuanya, kemudian menghubungi pihak sekolahnya dan keesokan harinya atau setelah dilakukan tahapan-tahapan itu anak-anak ini dikembalikan ke orangtuanya, ke keluarganya masing-masing,” terang Ade Ary.

Dari hasil pemeriksaan, enam tersangka yang mengelola akun media sosial terbukti berperan sebagai penggerak.

Mereka tidak hanya mengunggah ajakan untuk turun ke jalan, tetapi juga menyebarkan konten berbahaya. Beberapa akun bahkan menayangkan siaran langsung dan membagikan selebaran digital berisi tutorial pembuatan bom molotov.

Polisi menduga motif para tersangka adalah menciptakan instabilitas dengan memanfaatkan pelajar sebagai “massa instan”.

Ajakan yang mereka sebar terbukti berhasil menarik ratusan anak di bawah umur yang kemudian menjadi tameng dalam kerusuhan.

Atas perbuatannya, keenam tersangka dijerat dengan pasal berlapis, antara lain Pasal 160 KUHP, Pasal 76H jo Pasal 87 UU Perlindungan Anak, serta Pasal 45A ayat 3 jo Pasal 28 UU ITE. Ancaman pidana yang menanti mereka mencapai enam tahun penjara.

Fenomena ini kembali mengingatkan bahwa literasi digital masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia.

Generasi muda yang akrab dengan gawai ternyata rentan dipengaruhi oleh narasi provokatif, apalagi jika disampaikan secara masif dan berulang.

Kasus ini juga menyoroti lemahnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas daring anak.

Polisi mengimbau masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial, serta mengingatkan agar pelajar tetap fokus pada pendidikan.

Aparat juga berencana meningkatkan patroli siber guna mencegah konten-konten serupa menyebar kembali.

Kasus ini bukan sekadar soal ricuh di jalan, melainkan soal bagaimana dunia maya mampu memengaruhi dunia nyata secara langsung.

Saat teknologi digunakan sebagai alat provokasi, dampaknya bukan hanya pada keamanan publik, tetapi juga pada masa depan generasi muda yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *