Gus Yahya Klarifikasi Kehadiran Peter Berkowitz di Seminar NU

JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf, menyampaikan permohonan maaf atas polemik yang muncul terkait kehadiran akademisi Amerika Serikat, Peter Berkowitz, dalam seminar internasional yang digelar NU pada 15–16 Agustus 2025.
Pria yang akrab disapa Gus Yahya itu mengakui adanya kekhilafan dalam seleksi narasumber.
Menurutnya, undangan kepada Berkowitz terjadi karena kurangnya kecermatan dalam meneliti latar belakang akademisi yang diketahui memiliki pandangan pro-Israel.
“Saya mohon maaf atas kekhilafan dalam mengundang Dr Peter Berkowitz tanpa memperhatikan latar belakang zionisnya. Hal ini terjadi semata-mata karena kekurangcermatan saya dalam melakukan seleksi dan mengundang narasumber,” ujar Gus Yahya.
Di tengah sorotan publik, Gus Yahya menegaskan sikap PBNU tidak berubah dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Ia menekankan bahwa komitmen NU terhadap kemerdekaan Palestina telah konsisten sejak lama.
“Sikap saya dan PBNU dalam masalah Palestina tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang. PBNU mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk memiliki negara yang merdeka dan berdaulat,” ujarnya.
Lebih jauh, Gus Yahya mengecam keras tindakan Israel di Gaza yang disebutnya sebagai praktik genosida terhadap warga sipil.
“Saya dan PBNU mengutuk tindakan-tindakan genocidal yang brutal yang dilakukan oleh pemerintah Israel di Gaza. PBNU mengajak semua pihak dan aktor internasional untuk bekerja keras menghentikan genosida di Gaza dan mengusahakan terciptanya perdamaian,” katanya.
Peter Berkowitz, yang diketahui berlatar belakang Yahudi dan kerap menulis dukungan terhadap Israel, hadir sebagai pemateri bersama akademisi Harvard, Mary Ann Glendon, dalam seminar NU.
Kehadirannya menimbulkan kontroversi di kalangan publik, terutama setelah ia juga diundang menjadi narasumber dalam acara Pengenalan Sistem Akademik Universitas (PSAU) Pascasarjana UI pada 23 Agustus 2025.
Polemik tersebut berlanjut di ruang publik, khususnya media sosial. Menanggapi hal itu, Direktur Humas UI, Arie Afriansyah, menyampaikan apresiasi kepada masyarakat yang menyuarakan kritik.
“Universitas Indonesia (UI) menyampaikan terima kasih kepada semua pihak atas kritik dan masukan sebagai bagian dari kebebasan menyampaikan pendapat yang bersifat konstruktif,” kata Arie.
Kontroversi ini dinilai menjadi pengingat bagi institusi keagamaan maupun akademik untuk lebih berhati-hati dalam memilih narasumber asing, terutama terkait isu sensitif seperti Palestina-Israel.
Dengan permintaan maaf terbuka PBNU, perhatian kini tertuju pada langkah-langkah selanjutnya untuk memperkuat kembali solidaritas Indonesia terhadap Palestina di mata publik internasional. []
Nur Quratul Nabila A