“Hukum Bobrok”: Keluarga Dini Protes Remisi Ronald

JAKARTA – Keputusan pemerintah memberikan remisi kepada Gregorius Ronald Tannur, terpidana kasus pembunuhan Dini Sera Afrianti, memunculkan gelombang kekecewaan dari pihak keluarga korban.

Remisi empat bulan yang diterima Ronald pada momentum HUT ke-80 Republik Indonesia dianggap mencederai rasa keadilan dan memperlihatkan lemahnya sistem hukum di Tanah Air.

Ronald sebelumnya sempat divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Namun, putusan itu terbukti sarat praktik suap terhadap tiga majelis hakim yang mengadilinya.

Mahkamah Agung (MA) kemudian membatalkan vonis bebas tersebut pada 22 Oktober 2024 dan menjatuhkan hukuman lima tahun penjara. Dua hari berselang, Kejaksaan mengeksekusi vonis itu.

Meski drama hukum telah berakhir dengan penetapan vonis tetap, keputusan Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) memberikan pengurangan masa tahanan kembali memantik luka lama keluarga korban.

Alfika Rahma, adik kandung almarhumah Dini, menilai pemberian remisi itu sebagai bentuk ketidakadilan yang nyata.

“Sudah jelas kalau hukum di negara ini bobrok. Semua bisa dijual beli dengan mudah. Semua bisa diatur dengan uang. Bahkan nyawa kakak saya pun tidak ada artinya,” ucap Alfika, Senin (18/8/2025).

Ia menambahkan, keluarga hampir dua tahun berjuang mencari keadilan tanpa kepastian. Walaupun bukti kasus kematian Dini begitu jelas, pihak keluarga merasa negara tidak pernah sepenuhnya berpihak pada korban.

“Jangan tanya saya kecewa atau tidak. Saya bukan hanya kecewa pada hukumnya tapi juga pada negaranya. Di mana letak keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia? Jauh banget dari kata ‘merdeka’. Bobrok!,” tegasnya.

Menurut Alfika, pemberian remisi kepada Ronald Tannur menegaskan bahwa uang masih lebih berkuasa daripada hukum.

“Percuma berharap, ini udah kedua kalinya dia dapat keringanan. Entah apa yang ada di pikiran mereka sampai uang bisa mengubah aturan dan hukum,” tambahnya.

Sikap serupa juga disampaikan kuasa hukum keluarga, Dimas Yemahura.

Ia menilai remisi yang diberikan tidak hanya melukai keluarga korban, tetapi juga mencederai integritas penegakan hukum.

“Kalau saya pribadi sebagai kuasa hukum keluarga Dini merasa prihatin dengan remisi tersebut, mengingat bagaimana hukum di Indonesia dilecehkan oleh perbuatannya, terlebih kalau dia dapat remisi, sekarang saja keluarga tidak mendapat restitusi apalagi keadilan? Apakah ini namanya negara hukum,” kata Dimas.

Dimas menekankan, hingga saat ini keluarga korban tidak pernah menerima restitusi atau ganti rugi atas kematian Dini.

Ia menyebut, kondisi tersebut memperlihatkan betapa jauhnya keadilan bagi kalangan kecil ketika berhadapan dengan pelaku berduit.

“Bayangkan seorang buruh tani yang mencari keadilan untuk anaknya di negara hukum, harus diperlakukan demikian,” ujarnya.

Sementara itu, Ditjenpas membenarkan Ronald menerima remisi umum satu bulan dan remisi dasawarsa tiga bulan, sehingga totalnya empat bulan.

Kabag Humas Ditjenpas, Rika Aprianti, menjelaskan pengurangan masa tahanan itu diberikan karena Ronald dianggap memenuhi syarat administratif dan substantif, mulai dari berkelakuan baik hingga mengikuti program pembinaan.

“Hak ini diberikan kepada semua narapidana yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan yang berlaku,” ujarnya.

Namun, penjelasan tersebut tidak meredakan amarah keluarga korban.

Bagi mereka, remisi kepada terpidana pembunuhan yang kasusnya penuh kontroversi justru menegaskan bahwa hukum di Indonesia masih berpihak pada pelaku, bukan pada korban. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *