Immanuel Ebenezer: Dari Seruan Hukuman Mati ke Permintaan Amnesti

JAKARTA — Perjalanan politik dan moral Immanuel Ebenezer kini menjadi sorotan publik. Mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) itu harus berhadapan dengan kasus hukum setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Padahal, beberapa tahun lalu, pria yang akrab disapa Noel itu pernah dikenal sebagai sosok vokal yang menuntut agar koruptor dijatuhi hukuman mati.
Namun, situasi berbalik ketika Noel justru terjerat kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan.
Saat digiring menuju mobil tahanan, ia menyampaikan permohonan maaf sekaligus harapan mendapat pengampunan.
“Semoga saya mendapat amnesti Presiden Prabowo,” ujar Noel, Jumat (22/8/2025).
KPK menduga Noel menerima Rp 3 miliar dalam praktik pemerasan yang menyebabkan tarif resmi sertifikasi K3 sebesar Rp 275.000 melonjak hingga Rp 6 juta.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menyebut, modus pemerasan dilakukan dengan memperlambat atau menahan proses bagi pemohon yang tidak membayar lebih. Total kerugian pekerja diperkirakan mencapai Rp 81 miliar.
“Peran IEG (Immanuel Ebenezer) adalah dia tahu, membiarkan, bahkan kemudian meminta,” kata Setyo.
Selain uang, Noel diduga menerima satu unit motor Ducati tanpa surat resmi. Hal itu memperkuat indikasi upaya menyamarkan aliran gratifikasi.
Ironisnya, rekam jejak digital menunjukkan Noel pernah mendesak hukuman mati untuk koruptor, termasuk pada kasus korupsi bansos Covid-19.
Ia bahkan menandatangani pakta integritas yang berisi komitmen tersebut. Kini, jejak pernyataan itu berbalik menghantam dirinya sendiri.
Dalam pernyataan setelah ditetapkan tersangka, Noel menyampaikan permintaan maaf kepada Presiden Prabowo, keluarga, dan rakyat Indonesia.
“Pertama saya mau minta maaf kepada Presiden Pak Prabowo. Kedua, saya minta maaf kepada anak dan istri saya. Ketiga, saya minta maaf terhadap rakyat Indonesia,” ucapnya.
Meski demikian, Presiden Prabowo Subianto bertindak cepat dengan memberhentikan Noel dari jabatan Wamenaker melalui keputusan presiden yang diteken pada hari yang sama.
Praktis, Noel tidak lagi memiliki hubungan kerja dengan pemerintah yang sebelumnya ia harapkan dapat memberinya amnesti.
Publik kini menilai perjalanan Noel sebagai sebuah ironi: dari sosok yang mendukung hukuman mati bagi koruptor, beralih menjadi tersangka korupsi yang meminta amnesti.
Waktu yang akan menjawab apakah permohonan Noel dikabulkan atau justru menjadi catatan kelam dalam perjalanan politiknya. []
Nur Quratul Nabila A