Izin Rusak, Mediasi Sibuk

SAMARINDA – Langkah mediasi yang digadang-gadang sebagai solusi kondusifitas investasi di Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menjadi sorotan. Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim, Fahmi Prima Laksana, menegaskan pentingnya jalur mediasi dalam meredam potensi konflik antar pihak, terutama dalam urusan perizinan industri. Namun, pernyataannya mengisyaratkan persoalan klasik: lemahnya pengawasan dan tumpang tindih kebijakan dalam praktik investasi daerah.

Pernyataan itu disampaikan Fahmi seusai Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi I, II, dan IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim pada Selasa, (07/10/2025), yang membahas kisruh perizinan dua perusahaan pengelola pabrik kelapa sawit di Kutai Barat, PT Hamparan Khatulistiwa Indah dan PT Berlian Nusantara Perkasa, di Kantor DPRD Kaltim, Samarinda.

“Daripada perizinan ini terus menimbulkan persoalan dari berbagai pihak, kita tentu tidak ingin ada gejolak di masyarakat,” ujarnya. Namun, pernyataan tersebut justru membuka ruang kritik: mengapa gejolak itu bisa muncul jika sistem pengawasan perizinan berjalan baik sejak awal?

Fahmi menjelaskan potensi gesekan biasanya muncul akibat miskomunikasi antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah. DPRD pun disebut telah mengambil inisiatif menjadi mediator agar konflik tak melebar. “Sebelum gejolak itu meluas, lebih baik kita selesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. DPRD Provinsi juga telah berinisiatif untuk memfasilitasi penyelesaian persoalan ini, dan tentu langkah tersebut patut kita hargai,” kata Fahmi.

Namun, di balik sikap apresiatif itu, muncul pertanyaan: mengapa pemerintah hanya berperan setelah konflik mencuat, bukan mencegahnya sejak perizinan awal? Mediasi memang penting, tetapi jika dilakukan terus-menerus tanpa evaluasi sistemik, langkah ini hanya menjadi pemadam kebakaran sementara.

Dalam rapat tersebut, DPMPTSP menyoroti perlunya peninjauan lapangan agar persoalan dapat dilihat lebih objektif. “Ya, harus dilakukan. Dari situ nanti kita bisa melihat langsung di lapangan, sisi mana yang benar dan mana yang mungkin perlu diperbaiki,” ujarnya. Pernyataan itu menegaskan bahwa selama ini banyak keputusan administratif dilakukan tanpa verifikasi menyeluruh di lapangan celah yang kerap memunculkan masalah berulang.

Fahmi menegaskan penyelesaian persoalan perizinan harus berorientasi pada keadilan dan keberlanjutan, namun komitmen tersebut akan kehilangan makna jika pemerintah tak berani menegakkan sanksi bagi perusahaan yang menyalahi aturan. “Harapannya, melalui pertemuan nanti, seluruh pihak dapat berjalan beriringan sesuai regulasi yang ada. Kita ingin kedua perusahaan ini memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar tanpa ada pihak yang dirugikan,” pungkasnya.

RDP kali ini memang menjadi langkah responsif DPRD dan DPMPTSP dalam menenangkan situasi, tetapi belum tentu menyentuh akar masalah. Persoalan izin dan konflik sosial di sektor perkebunan sawit sudah berulang kali terjadi di Kaltim, menunjukkan bahwa pendekatan “mediasi setelah masalah muncul” belum cukup efektif.

Kondusivitas investasi tidak cukup hanya diukur dari keterbukaan dialog atau kelengkapan dokumen izin, melainkan dari ketegasan penegakan aturan dan transparansi proses perizinan. Jika pengawasan lemah dan komunikasi hanya reaktif, maka potensi konflik akan terus muncul hanya berganti nama dan lokasi.

Pemerintah daerah semestinya tidak sekadar menjaga citra investasi, tetapi juga memastikan bahwa pembangunan di Kaltim benar-benar berpihak pada masyarakat dan lingkungan, bukan hanya pada angka investasi semu. []

Penulis: Rifky Irlika Akbar | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *