Izin Sah, Lingkungan Terancam

SAMARINDA — Masalah klasik perizinan industri sawit kembali muncul di Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim). Dua pabrik kelapa sawit milik PT Hamparan Khatulistiwa Indah dan PT Berlian Nusantara Perkasa kini menjadi sorotan karena berdiri nyaris berdampingan, hanya berjarak sekitar satu kilometer. Ironisnya, keduanya telah mengantongi izin resmi pemerintah.

Situasi itu mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama sejumlah komisi dan instansi teknis pada Selasa, (07/10/2025), di Kantor DPRD Kaltim, Samarinda. Rapat gabungan tersebut dipimpin Ketua Komisi IV DPRD Kaltim H. Baba, dengan melibatkan perwakilan Komisi I, II, serta sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD), antara lain Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Perkebunan (Disbun), dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim.

Secara formal, rapat ini dimaksudkan untuk mencari solusi atas tumpang tindih lahan dan kekhawatiran masyarakat terhadap dampak lingkungan. Namun di balik itu, muncul pertanyaan mendasar: mengapa izin dua pabrik besar bisa diterbitkan tanpa pengendalian jarak dan kajian risiko yang matang?

“Rapat yang kami gelar merupakan rapat gabungan antara Komisi I, II, IV, dan seluruh dinas terkait bersama PT Hamparan dan PT Berlian yang memiliki kegiatan di wilayah Kubar, tepatnya terkait pembangunan pabrik CPO,” jelas H. Baba seusai rapat.

Sayangnya, penjelasan itu tak menjawab akar masalah. Kedua perusahaan memang berizin resmi, tetapi legalitas tersebut justru mengundang kecurigaan: apakah proses perizinan di Kaltim hanya formalitas administratif tanpa kajian dampak sosial-lingkungan yang serius?

“Memang posisinya bersebelahan, yang satu di sisi kiri, dan yang satu di sisi kanan. Jaraknya sangat dekat, tetapi sejauh ini belum ada aturan yang membatasi jarak antar lokasi seperti itu,” ujarnya.

Pernyataan itu memperlihatkan celah besar dalam kebijakan tata ruang dan industri daerah. Tak adanya aturan batas jarak antar pabrik sawit menunjukkan lemahnya fungsi perencanaan dan pengawasan pemerintah provinsi. Sementara masyarakat adat yang hidup di sekitar lokasi justru mengaku cemas akan dampak aktivitas pabrik terhadap lingkungan dan sumber air.

“Tokoh masyarakat di sana berharap dapat ikut serta dalam peninjauan agar ada kesepakatan bersama antara PT Berlian, PT Hamparan, dan pihak adat. Tujuannya supaya tidak timbul persoalan di kemudian hari,” kata Baba.

Dalam rapat itu, DPRD juga menyoroti pemenuhan sepuluh syarat operasional perusahaan. Meski diklaim hampir rampung, masyarakat adat belum pernah benar-benar dilibatkan dalam proses verifikasi lapangan.
“Informasinya, dari sepuluh item persyaratan, hampir semua sudah terpenuhi. Hanya saja, teman-teman dari Komando dan perwakilan masyarakat Kutai Barat belum kembali dilibatkan dalam peninjauan,” ujarnya.

Rencana DPRD dan pemerintah provinsi untuk turun ke lapangan dinilai baik, tetapi langkah itu datang terlambat, setelah izin terbit dan pabrik nyaris beroperasi penuh.
“Kami ingin memastikan agar tidak terjadi konflik di lapangan. Harapannya, semua pihak bisa dirangkul dan pabrik ini bisa berjalan baik karena investasinya cukup besar, mencapai ratusan miliar rupiah,” ujar Baba.

Namun, pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa investasi besar kerap dijadikan alasan untuk menoleransi kelemahan regulasi dan minimnya keterlibatan masyarakat.

H. Baba pun menegaskan bahwa persoalan bukan pada aspek hukum, melainkan pada kurangnya komunikasi. “Mungkin bukan gesekan yang serius, hanya persoalan komunikasi yang perlu diperbaiki,” imbuhnya.

Pernyataan itu dinilai terlalu meremehkan persoalan struktural antara korporasi besar dan masyarakat lokal yang terdampak. Konflik sosial di sekitar industri sawit umumnya bukan sekadar miskomunikasi, tetapi hasil dari kebijakan yang longgar dan pengawasan yang lemah.

Selain itu, DPRD juga menyinggung kekhawatiran masyarakat terhadap potensi limbah pabrik yang mencemari lingkungan. “Masalah utama yang dikhawatirkan adalah soal jarak dan potensi limbah. Masyarakat khawatir jika limbah pabrik dibuang ke sungai atau terjadi kebocoran yang berdampak pada lingkungan,” ungkapnya.

Pihak perusahaan mencoba meyakinkan publik. “Pihak perusahaan menyampaikan bahwa limbah tidak akan dibuang langsung ke sungai. Mereka berkomitmen mengolah limbah melalui sistem khusus dengan membangun beberapa kolam penampungan,” terangnya. Namun tanpa mekanisme pengawasan yang transparan, komitmen semacam itu rawan berhenti di atas kertas.

H. Baba menutup rapat dengan menegaskan pentingnya koordinasi lintas sektor. “Kedua perusahaan ini sudah menjalankan proses perizinan sesuai aturan. Jadi sebenarnya tinggal memperkuat koordinasi saja agar tidak menimbulkan salah tafsir di lapangan,” pungkasnya.

Pernyataan itu kembali mencerminkan pola lama birokrasi: masalah besar diselesaikan dengan rapat dan janji koordinasi, bukan dengan tindakan pengawasan yang nyata. Selama pemerintah daerah lebih sibuk menenangkan ketegangan di meja rapat daripada menegakkan aturan di lapangan, konflik perizinan industri sawit di Kaltim akan terus berulang  hanya berganti lokasi dan nama perusahaan.  []

Penulis: Rifky Irlika Akbar | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *