Jaksa ICC Tolak Permintaan Israel untuk Cabut Surat Penangkapan Netanyahu

DEN HAAG – Kantor Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) menolak permintaan Pemerintah Israel untuk mencabut surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Penolakan ini disampaikan melalui dokumen hukum sepanjang 10 halaman yang diunggah di situs resmi ICC pada Rabu, 21 Mei 2025.
Jaksa Penuntut ICC, Karim Khan, menegaskan bahwa “tidak ada dasar hukum” untuk menarik atau membatalkan surat perintah tersebut, serta meminta para hakim di Kamar Pra-Persidangan I untuk menolak permintaan Israel guna menangguhkan penyelidikan atas dugaan kejahatan yang dilakukan di Jalur Gaza.
“Pengadilan telah menemukan alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa Netanyahu dan Gallant bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Gaza antara 8 Oktober 2023 hingga 20 Mei 2024,” tulis Khan dalam pengajuan tersebut.
Sebelumnya, pada November 2024, ICC telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap kedua pejabat tinggi Israel tersebut. Namun Israel menggugat yuridiksi ICC atas wilayah Palestina dan meminta agar proses hukum dihentikan sementara menunggu keputusan lebih lanjut.
Meskipun gugatan Israel sempat ditolak pada akhir 2024, Majelis Banding ICC membatalkan keputusan tersebut pada April 2025, dengan alasan prosedural. Namun, jaksa Khan menegaskan bahwa pembatalan itu tidak membatalkan dasar penerbitan surat perintah.
Dalam kesimpulannya, Kantor Jaksa Penuntut meminta para hakim untuk menolak seluruh permintaan Israel, baik terkait pembatalan surat penangkapan maupun penangguhan penyelidikan.
Penolakan ICC ini menandai ketegangan yang terus meningkat antara pengadilan internasional dan negara-negara besar.
Pada Februari 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjatuhkan sanksi terhadap ICC, termasuk larangan visa dan pemblokiran transaksi keuangan, dengan tuduhan bahwa pengadilan telah melakukan “langkah tidak sah” terhadap AS dan sekutunya.
Dampak nyata dari sanksi tersebut mulai dirasakan ketika perusahaan teknologi Microsoft memblokir akun email resmi Karim Khan, mengganggu komunikasi internal ICC yang sangat bergantung pada layanan digital tersebut.
Sejumlah kelompok hak asasi manusia dan pengamat internasional mengkritik tekanan politik terhadap ICC, menilai bahwa lembaga tersebut harus bebas dari intervensi demi menegakkan keadilan internasional secara independen.
Hingga kini, ICC tetap melanjutkan proses investigasi terhadap dugaan pelanggaran HAM dan hukum perang yang terjadi dalam konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina.
Penegakan surat perintah ini akan bergantung pada kerja sama negara anggota Statuta Roma yang menjadi dasar hukum pengadilan tersebut. []
Nur Quratul Nabila A