Kasus Leptospirosis di Yogyakarta Meningkat, Enam Pasien Meninggal Dunia

YOGYAKARTA — Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta melaporkan lonjakan kasus leptospirosis sepanjang semester pertama tahun 2025. Dari 19 kasus yang tercatat hingga Juli, enam pasien dinyatakan meninggal dunia. Angka kematian tersebut mencapai 31 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Semester I saat ini sudah menyentuh 19 kasus, yang cukup memprihatinkan adalah kematiannya cukup tinggi, mencapai enam kasus,” ujar Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit, Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Lana Unwanah, dalam keterangannya, Kamis (10/7/2025).
Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Leptospira, dan ditularkan melalui urin hewan yang terinfeksi, khususnya tikus.
Penularan umumnya terjadi saat seseorang terpapar air atau lingkungan yang tercemar, melalui luka terbuka atau membran mukosa. Bila tidak ditangani secara cepat, infeksi ini dapat menimbulkan komplikasi serius, terutama gangguan ginjal.
Lana menyebutkan bahwa jumlah kasus pada tahun ini mengalami peningkatan signifikan dibanding tahun 2024, yang hanya mencatat 10 kasus dengan dua kematian.
“Kalau dipersentasekan, tahun ini angka kematiannya mencapai 31 persen, jauh lebih tinggi dibanding sebelumnya,” ungkapnya.
Berdasarkan data Dinkes, kasus leptospirosis tersebar di 11 dari total 14 kemantren di Kota Yogyakarta. Berikut rincian sebarannya:
-
Jetis dan Tegalrejo: masing-masing 3 kasus
-
Kotagede dan Ngampilan: masing-masing 2 kasus
-
Pakualaman, Gedongtengen, Mergangsan, Mantrijeron, Umbulharjo, Wirobrajan, dan Gondokusuman: masing-masing 1 kasus
Adapun tiga kemantren yang tercatat bebas kasus hingga pertengahan tahun ini adalah Keraton, Danurejan, dan Gondomanan.
Dari total korban meninggal, kasus kematian tercatat tersebar di lima kemantren, yakni:
-
Pakualaman
-
Gedongtengen
-
Wirobrajan
-
Jetis
-
Ngampilan (2 kasus)
Para korban berusia antara 17 hingga 50 tahun, dan sebagian besar diketahui terlambat mendapatkan penanganan medis.
“Kalau misalkan segera ditangani dan membutuhkan cuci darah, setelah teratasi pasien sembuh, dia sudah tidak butuh cuci darah lagi,” jelas Lana.
Ia menekankan bahwa kesadaran masyarakat terhadap gejala awal leptospirosis perlu ditingkatkan. Gejala umum penyakit ini sering kali disalahartikan sebagai penyakit ringan seperti masuk angin atau kelelahan, karena hanya berupa demam, sakit kepala, dan nyeri otot.
“Gejala klinisnya tidak spesifik, sehingga sering kali pasien tidak menyangka terinfeksi leptospirosis,” katanya.
Lana mengimbau masyarakat untuk lebih waspada, terutama saat musim hujan dan banjir, ketika risiko penularan leptospirosis meningkat. Dinkes juga mendorong pemeriksaan dini di fasilitas kesehatan apabila mengalami gejala mencurigakan, serta menjaga kebersihan lingkungan untuk menghindari genangan air dan mencegah populasi tikus.
Pihaknya juga tengah berkoordinasi dengan puskesmas dan pihak kelurahan guna memperkuat surveilans penyakit berbasis wilayah serta sosialisasi kepada warga. []
Nur Quratul Nabila A