Kasus Perkawinan Anak Masih Tinggi, DPRD Jatim Desak Aksi Sistemik

SURABAYA — DPRD Provinsi Jawa Timur menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap masih tingginya angka perkawinan anak di wilayah tersebut, meskipun tren statistik menunjukkan penurunan selama tiga tahun terakhir.

Persoalan ini dinilai bukan hanya soal hukum keluarga, melainkan menyangkut masa depan pendidikan, kesehatan, dan struktur ekonomi masyarakat.

Hal ini disampaikan Juru Bicara Komisi E DPRD Jatim, Indriani Yulia Mariska, dalam rapat paripurna DPRD dengan agenda penyampaian laporan hasil pembahasan Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2024, yang berlangsung pada Senin (26/5/2025) di Surabaya dan dipimpin Wakil Ketua DPRD Jatim, Deni Wicaksono.

“Berdasarkan data dari Pengadilan Tinggi Agama Jawa Timur, angka dispensasi kawin tercatat sebanyak 15.095 kasus pada 2022, turun menjadi 12.334 kasus pada 2023, dan kembali menurun menjadi 8.753 kasus pada tahun 2024. Namun demikian, kami percaya bahwa kasus riil di lapangan jauh lebih tinggi karena banyak yang tidak melalui mekanisme dispensasi hukum,” ujar Indriani.

Ia menegaskan bahwa tingginya angka perkawinan anak menandakan adanya tantangan serius dalam pembangunan sumber daya manusia di Jawa Timur.

Perkawinan anak, menurutnya, berimplikasi luas terhadap kelangsungan pendidikan, meningkatnya risiko masalah kesehatan reproduksi, serta memperbesar potensi kemiskinan antargenerasi.

“Ini bukan hanya permasalahan keluarga, tetapi juga menyangkut struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Anak yang menikah dini berpotensi besar mengalami putus sekolah, rentan terhadap KDRT, serta sulit keluar dari kemiskinan,” tegas politisi dari PDI Perjuangan tersebut.

Indriani pun mendorong pemerintah provinsi untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan lembaga pendidikan, tokoh agama, dan organisasi masyarakat sipil, guna mempercepat upaya pencegahan.

Tiga pilar utama yang harus diperkuat, menurutnya, adalah edukasi publik tentang bahaya perkawinan anak, pemberdayaan perempuan, serta penegakan hukum yang konsisten.

“Pencegahan perkawinan anak memerlukan keseriusan sistemik. Ini adalah pekerjaan bersama, bukan tugas satu instansi. Generasi masa depan tidak boleh dikorbankan karena kegagalan kita hari ini,” pungkasnya.

Permasalahan ini menjadi salah satu perhatian utama dalam evaluasi APBD Jatim 2024, mengingat dampaknya yang lintas sektor dan memengaruhi indikator pembangunan manusia di provinsi tersebut. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *