Kekacauan Proyek Jacking di Kota Malang
Pertengahan 2013 lalu, PT Citra Gading Asritama (CGA) kembali sukses menyingkirkan belasan peserta tender paket pekerjaan bernilai ‘wah’. Pekerjaan itu adalah pembangunan drainase jalan Bondowoso ke Kali Metro yang dilaksanakan Layanan Pengadaan Sistem Elektronik (LPSE) Pemerintah Kota Malang, Jawa Timur (Jatim).
CGA memenangkan lelang dengan penawaran Rp 38,48 miliar, berkurang Rp 773 juta lebih dari harga perkiraan sementara yang disampaikan panitia lelang. Kontrak pun ditandatangani per 1 Juli 2013. Itu artinya, CGA sudah dapat bekerja dan 27 Desember 2013 sudah harus selesai. Harapannya, begitu rampung proyek ini dapat mengatasi persoalan banjir yang sering terjadi di kawasan Galunggung, Gadingkasari, Pisang Candi, Pulosari dan Dieng, dapat terselesaikan.
Proyek drainase jalan dari Bondowoso ke Kali Metro, di publik Kota Malang, lebih dikenal dengan proyek Jacking. Disebut begitu karena kontraktor diminta membuat gorong-gorong raksasa dengan sistem jacking. Pipa beton (box culvert) berdiameter 2,5 meter diungkit lalu diletakkan di bawah badan jalan raya yang sebelumnya telah digali.
Gorong-gorong itu nantinya untuk mengalirkan air ke sungai Metro yang berjarak sekitar 1,2 kilometer dari tempat potensi banjir. Setiap beberapa meter di permukaan jalan ada lubang saluran air berukuran sekitar 70 centimeter yang menghubungkan ke dalam gorong-gorong raksasa ini.
Sayangnya proyek ini tak berjalan mulus, justru menimbulkan sejumlah kekacauan. Pertama, muncul polemik antara Wali Kota Malang Peni Suparto dengan sejumlah anggota legislatif terkait perencanaan proyek drainase. Selain itu alokasi anggarannya disebut tak sesuai mekanisme, sebab setiap anggaran harus didahului pembahasan dalam kebijakan umum anggaran (KUA) dan prioritas plafon anggaran sementara (PPAS). Proyek ini tidak.
Kekacauan kedua, warga berang dan memprotes ulah kontraktor yang seenaknya membangun gorong-gorong. Box culvert yang belum tertanam diletakkan sembarangan, memakan badan jalan. Alat berat juga begitu, seenaknya ditempatkan. Akibatnya, kemacetan terjadi dimana-mana. Pipa air bersih dibuat rusak. Selain itu lumpur proyek juga mengotori jalan dan saat hujan menggenang kemana-mana.
“Proyek yang sedang dikerjakan kontraktor, saat ini amburadul karena selain menimbulkan kemacetan di mana-mana, juga sudah ada yang ambrol tergerus hujan,” kata salah seorang warga di kawasan Jalan Mayjen Panjaitan, Kota Malang, Syaiful Hadi, beberapa waktu lalu (24/10/2013).
Kekacauan ketiga, adalah wanprestasinya kontraktor dalam menyelesaikan pekerjaan dalam waktu 180 hari. Alasannya faktor cuaca, tapi banyak pihak justru mempertanyakan perencanaan kontraktor yang tak memperhitungkan cuaca. CGA disebut tak profesional. Untung saja pihak eksekutif tampak membela mati-matian. Waktu kerja CGA diperpanjang 50 hari. Maret 2014 lalu sudah harus selesai.
Tuntas kah pekerjaan CGA? Ternyata tidak. Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Pengawasan Bangunan (DPUPPB) Kota Malang kembali memberikan perpanjangan waktu, dengan alasan keadaan kahar. CGA diminta menuntaskan kerja dalam waktu 50 hari atau sampai 20 Mei 2014. Tapi lagi-lagi CGA wanprestasi. Bahkan sampai awal Juli, penuntasan proyek masih belum jelas.
Kekacauan keempat, terungkapnya pemasangan box culvert yang dilakukan secara manual pada akhir Mei lalu. Menurut anggota legislatif yang menginspeksi, hal itu juga yang menjadi penyebab cepat tuntasnya proyek.
Lalu kekacauan yang kelima adalah finishing pekerjaan yang tak memperhatikan perbaikan jalan yang sudah dirusak oleh kontraktor untuk menanam box culvert. Dalam kontrak, mestinya CGA diwajibkan merehabilitasi jalan yang sudah rusak dengan membersihkan dan mengecor atau mengaspalnya kembali. []