Ketika Sawit Jadi Biodiesel, Tanah Rakyat Hilang

Di tengah gencarnya promosi hilirisasi sawit dan energi hijau, bisnis biodiesel Jhonlin Group justru memperlihatkan sisi gelap dari industri yang dibanggakan pemerintah. Melalui pemasok utamanya, PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM), jaringan usaha ini dituding menguasai ribuan hektare lahan bermasalah di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, hingga menimbulkan kriminalisasi warga seperti Ratman yang hanya menuntut keadilan. Dari tanah yang dipersoalkan itu, mengalir pasokan minyak sawit senilai ratusan miliar rupiah ke PT Jhonlin Agro Raya Tbk. (JARR), perusahaan biodiesel yang diresmikan langsung Presiden Jokowi pada 2021. Di balik klaim energi hijau dan kemandirian nasional, tersimpan ironi: rakyat kehilangan tanah, hukum berpihak pada modal, dan keuntungan triliunan rupiah tumbuh di atas penderitaan warga Pulau Laut.
KOTABARU – Di tengah gencarnya promosi hilirisasi sawit dan energi hijau, bisnis biodiesel Jhonlin Group justru menghadirkan paradoks. Di balik ambisi besar PT Jhonlin Agro Raya Tbk. (JARR), entitas publik yang dikaitkan dengan konglomerat Kalimantan Selatan, Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, tersimpan rantai pasokan yang berlumur kontroversi.
Salah satu pemasok utama JARR, PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM), menjadi sorotan karena terlibat sengketa lahan di Pulau Laut. Konflik ini bukan sekadar soal tanah, tetapi menyentuh akar bisnis yang menopang industri biodiesel bernilai triliunan rupiah.
Tujuh tahun lalu, Ratman warga Pulau Laut harus mendekam di penjara hanya karena mengkritik perusahaan tersebut. Ia bukan kriminal, bukan penjahat, hanya warga yang menuntut keadilan. “Saya orasi minta bantuan Dewan (DPRD) agar menghentikan perusahaan. Omongan saya itu ada dasarnya. Karena masyarakat dizalimi. Perusahaan tidak ada komunikasi ke RT dan Desa,” ujarnya seperti dilansir dari Independen.id.
Ratman dijerat Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan divonis dua bulan dua puluh hari penjara pada 28 November 2018. Kasus itu menandai bagaimana kritik terhadap korporasi besar bisa berujung kriminalisasi bahkan ketika kepentingan bisnis menyentuh kebijakan energi nasional.
Kasus Ratman hanyalah permukaan dari praktik yang lebih sistematis. Di Pulau Laut, sertifikat tanah warga yang diterbitkan lewat program PTSL, bahkan yang diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo, tak berdaya menghadapi izin usaha perkebunan besar. “Bagi kami, masyarakat biasa, petani, harusnya sertifikat (menjadi bukti kepemilikan) kuat. Tapi di lapangan, ternyata tidak berarti,” kata Imron, warga korban penggusuran.
Laporan IndonesiaLeaks mengungkap bahwa pola penggusuran dilakukan berulang. Warga yang menolak sering dihadapkan dengan aparat atau bahkan dijerat UU ITE. Beberapa di antaranya, seperti Ansor dan Syahbudin alias Abah Putra, menjadi contoh bagaimana hukum bisa berbalik tajam terhadap rakyat kecil.
“Kalau dari jalan hauling, saya dapat kurang dari Rp10 juta. Pembayaran dilakukan di Polsek. ‘Ada apa?’ dalam hatiku begitu,” ujar Ansor, yang heran uang ganti rugi lahannya dibayarkan di kantor polisi.
Syahbudin bahkan harus mendekam di penjara 1 tahun 2 bulan karena unggahan di media sosial yang diklaim “hoaks” tentang aktivitas MSAM. Laporan datang bukan dari perusahaan, tapi dari anggota patroli siber bernama Askar.
Dari sisi bisnis, MSAM adalah bagian penting dari rantai suplai Jhonlin Group. Perusahaan ini mengantongi izin HGU 10.553 hektare pada 2018, namun data Sawit Watch menyebut penguasaan lahan sebenarnya mencapai 14.333 hektare selisih hampir 4.000 hektare yang status hukumnya tak jelas. Kejanggalan makin mencolok ketika Inhutani II, BUMN pengelola hutan alam, menandatangani perjanjian kerja sama dengan MSAM pada 19 Juni 2017, hanya sebulan setelah MSAM mencabut gugatan terhadap Kementerian Kehutanan.
Perjanjian itu memberi hak kelola eksklusif bagi MSAM dengan imbal hasil 7,5% untuk Inhutani II. Ironisnya, izin HGU justru diterbitkan sebelum kawasan hutan dilepaskan secara resmi. Prosedur hukum tampak diakali untuk mengamankan kepentingan bisnis.
Lebih jauh, nama dua pejabat aktif dalam kabinet Prabowo-Gibran Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo dan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi tercatat pernah menjadi pemegang saham MSAM. “Waduh enggak tahu saya, MSAM itu apa ya?,” ujar Dody ketika dikonfirmasi, menimbulkan pertanyaan serius soal etika bisnis dan transparansi pejabat publik.
MSAM bukan entitas berdiri sendiri. Ia dikendalikan oleh PT Eshan Agro Sentosa (EAS), anak usaha Jhonlin Group yang juga menjadi pemegang saham mayoritas JARR perusahaan biodiesel yang diresmikan langsung oleh Presiden Jokowi pada 2021. Hubungan bisnis antara MSAM dan JARR sangat erat: pasokan minyak sawit mentah (CPO) dari MSAM mencapai Rp393 miliar pada 2022 dan naik menjadi Rp450,2 miliar pada 2023.
Namun hingga kini, tak satu pun lembaga negara memastikan apakah bahan baku biodiesel itu bebas dari konflik lahan. Pemerintah hanya memuji “kemandirian energi” tanpa menelisik sumbernya. Padahal di balik angka laba bersih dan nilai saham, ada realitas getir: rakyat kehilangan tanah demi bahan bakar yang disebut hijau.
Biodiesel Jhonlin Group memang jadi simbol hilirisasi sawit nasional, tapi juga menunjukkan bagaimana korporasi besar bisa menambang keuntungan dari celah hukum dan lemahnya pengawasan negara. Proyek senilai Rp2 triliun yang diresmikan Presiden itu kini dipertanyakan etikanya: apakah energi bersih pantas disebut hijau jika ditumbuhkan dari lahan yang kotor oleh konflik?
Pulau Laut menjadi potret kecil dari kapitalisme sumber daya yang menyingkirkan hak rakyat atas nama pembangunan. Sementara suara seperti Ratman terus dipadamkan, bisnis Jhonlin terus tumbuh menyuplai biodiesel bagi negara yang membanggakan energi hijau, tapi menutup mata terhadap warna gelap di baliknya. []
Redaksi