KLB Campak di Sumenep, 17 Anak Meninggal Akibat Rendahnya Imunisasi

SUMENEP — Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, menjadi alarm serius tentang pentingnya imunisasi anak. Hingga Agustus 2025, tercatat 2.035 kasus campak dengan 17 anak meninggal dunia.

Data Dinas Kesehatan Sumenep menunjukkan mayoritas korban berasal dari kelompok balita yang tidak pernah mendapatkan imunisasi, yakni 16 anak tanpa imunisasi sama sekali dan satu anak dengan imunisasi tidak lengkap.

Untuk mencegah penularan lebih luas, pemerintah daerah bersama Kementerian Kesehatan melaksanakan vaksinasi campak massal. Sebanyak 78.569 anak berusia 9 bulan hingga 6 tahun menjadi target.

Program ini sudah dimulai sejak Senin (25/8/2025) dan akan berlangsung hingga 14 September 2025. Semua anak akan mendapatkan satu dosis vaksin MR, tanpa memandang status imunisasi sebelumnya.

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menegaskan bahwa rendahnya cakupan imunisasi menjadi penyebab utama merebaknya wabah campak di Sumenep.

“Vaksinasi-vaksinasi yang kita sudah berikan kepada masyarakat itu sudah dikaji secara empiris, dengan waktu yang lama, sehingga aman,” ujarnya di Jakarta, Senin (25/8/2025), dikutip dari Antara.

Ia mengingatkan bahwa keraguan orang tua terhadap vaksin berakibat fatal karena membuka peluang munculnya wabah penyakit.

Hal senada disampaikan Wakil Bupati Sumenep Imam Hasyim. Saat meninjau kegiatan vaksinasi massal, ia mengimbau orang tua tidak ragu membawa anak mereka ke pos imunisasi.

“Kami juga mengajak para orang tua untuk tidak khawatir dengan imunisasi ini, karena imunisasi terbukti sangat efektif mencegah campak. Prinsip lebih baik mencegah daripada mengobati harus kita gunakan, demi kebaikan dan masa depan yang lebih baik,” katanya.

Ketersediaan vaksin untuk program ini tercatat sekitar 18 ribu vial, setara lebih dari 80 ribu dosis, yang didistribusikan ke 26 puskesmas serta sejumlah puskesmas pembantu di Sumenep.

Namun, tantangan imunisasi tidak hanya soal logistik, tetapi juga sikap sebagian masyarakat.

Survei Kementerian Kesehatan bersama UNICEF dan AC Nielsen pada 2023 mengungkap berbagai alasan orang tua enggan mengimunisasi anak, mulai dari takut anak disuntik lebih dari sekali (37,7 persen), jadwal tidak sesuai (18,2 persen), khawatir efek samping (12 persen), hingga alasan agama.

Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K), menekankan bahwa penolakan vaksin kerap dilandasi ketakutan melanggar syariat.

Namun, ia menegaskan imunisasi justru selaras dengan ajaran Islam yang memprioritaskan perlindungan jiwa (hifz al-nafs).

“Ini ada fatwa MUI, kalau dalam keadaan darurat membolehkan yang terlarang. Jadi, jika tidak ada vaksin halal atau kondisi darurat, maka boleh gunakan vaksin dengan unsur haram,” jelasnya.

Menurut Piprim, kesalahpahaman masyarakat kerap muncul karena menganggap unsur haram dalam proses pembuatan otomatis membuat vaksin haram.

Padahal, sebagian besar vaksin modern telah dimurnikan sehingga tidak menyisakan unsur haram pada produk akhir.

Wabah campak di Sumenep menjadi peringatan nyata bahwa imunisasi bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan untuk melindungi generasi muda dari ancaman penyakit yang dapat dicegah. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *